"Alhamdulillah, akhirnya Kiera nemu jodohnya ya, Mas. Aku nggak nyangka loh, kalau jodohnya ternyata Mas Steven." Eliza berkata kepada Revan ketika dalam perjalanan ke rumah nenek Mutia.
"Iya, semoga saja dia nggak bikin ulah setelah menikah. Takutnya si Steven nggak sabar, terus diceraikan."
"Eh, kamu nggak boleh ngomong gitu, Mas. Ucapan adalah doa." Eliza mengingatkan suaminya.
Revan dan Eliza hendak menghadiri akad nikah Kiera yang diselenggarakan di rumah saja, karena tidak kebagian gedung. Maklum pernikahan mendadak.
Bahkan Kiera tidak sempat mengundang kawan-kawan kuliahnya. Antara mager dan malu. Kiera malu karena menikah mendadak, nanti dikira ada apa-apa.
"Bang, itu keluarga lo nggak disuruh masuk?" Keira menunjuk ke depan pagar.
Steven memperhatikan serombongan orang berbaju warna sage. "Bukan keluarga gue itu. Tamu tetangga sebelah kali."
Maklum, warna sage sekarang lagi musim. Lebaran kemarin warna sage bertebaran di mana-mana. Jadi untuk yang orang yang nggak punya keluarga bisa sedikit berbahagia, keluarganya orang se-Indonesia.
Setelah acara akad nikah yang berlangsung singkat, Kiera dan Steven duduk-duduk di karpet, sambil nyemil kue sisa di piring.
Pak penghulu dan keluarga Steven yang lain sudah balik ke hotel. Nanti malam rencananya akan ada acara makan malam sederhana di restoran. Sebagai pengganti acara resepsi.
"Keringetan banget lo? Udah kayak bocil abis pulang Pramuka. Bedak lo luntur semua 'tuh." Steven mengelap muka Keira menggunakan tissue.
"Orang gue kepanasan. Ini kebaya gue kekecilan!"
Memang kebaya Kiera beli jadi, makanya kurang pas dengan bentuk tubuhnya. Seperti dibilang tadi, semua serba mendadak. Bahkan undangan pakai yang digital. Itupun yang diundang cuma tetangga dan saudara dekat saja.
Dari kejauhan Eliza tersenyum melihat kedua pasangan itu. Ia menoleh ke arah Mutia. "Kelihatannya mereka bahagia banget ya, Nek?"
"Semoga aja yang kamu bilang bener. Melihat kehidupan kamu dengan Revan sekarang, Nenek optimis mereka akan bahagia juga."
"Aamiin, Nek." Eliza tersenyum lagi.
"Sebentar lagi kamu mau lahiran. Jaga kesehatan," pesan nenek Mutia.
"Iya, Nek." Eliza mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Titin kok nggak kelihatan, Nek?"
"Sudah Nenek pecat. Kerja nggak becus. Bisanya cuma main aja sama satpam kompleks. Kalau Nenek perlu apa-apa, harus nyari dia dulu. Kamu tau nggak, ternyata dia itu janda. Datang ke sini udah hamil."
"Yang bener, Nek?" Eliza kaget mendengar ucapan nenek Mutia.
"Mungkin dia deketin Revan buat dijebak, supaya bisa jadi ayah anak yang dikandungnya. Untungnya Revan buru-buru bawa dia kesini. Sekarang yang jadi korbannya pak Satpam komplek kita. Disuruh tanggung jawab, padahal baru nganu sekali. Nggak tau nganunya di mana, mungkin di semak-semak atau pos satpam pas dia pamit belanja. Usut punya usut, ternyata dia udah hamil saat di kampung, nggak tau sama siapa. Makanya diceraikan sama suaminya. Orang suaminya merantau ke Taiwan bertahun-tahun. Gimana ceritanya bisa hamil?"
"Kasihan juga dia." Eliza yang punya hati selembut pantat bayi, menjadi tidak tega dengan nasib Titin.
"Kabarnya Pak Satpam nggak mau tanggung jawab. Ya udah, Nenek usir saja. Daripada nanti dia ganggu suami tetangga kita ya 'kan?"
Percakapan tentang perginya Titin terputus, saat Kiera datang sambil membawa piring.
"Nek, makan."
"Ambil aja di dapur. Ada rendang."
"Udah habis, tinggal lengkuasnya aja." Kiera menjawab dengan ekspresi memelas.
"Masa, sih? Tadi ada kok." Mutia tidak percaya, kemudian berjalan ke dapur, diikuti Kiera.
"Udah habis, tadi dicemilin sama kak Revan." Kiera mengadu.
"Oalah, musang!"
Kiera memegang perutnya yang kelaparan. "Terus gimana, Nek? Dari pagi aku belum sarapan loh. Subuh-subuh langsung dandan."
"Ya udah, rebus mi sana."
"Seharusnya si Titin jangan keburu diusir, Nek. Kan jadi kita yang repot."
"Daripada dia ganggu suami kamu? Malah nanti malah lebih repot."
Mutia memperhatikan Kiera yang hanya merebus satu bungkus mi. "Bikin dua, Ki. Kali aja Steven mau."
"Ya biar dia bikin sendiri lah."
"Nggak boleh gitu. Ingat, dia kan suami kamu sekarang. Tawarin dulu gih." Mutia mencubit lengan Kiera.
Dengan bersungut-sungut Kiera keluar dapur, menghampiri Steven yang sedang mengobrol dengan Revan di depan kolam ikan.
"Bang, mau mi nggak? Nggak mau ya udah."
"Belum gue jawab, Munaroh." Steven memutar mata, mendengar tawaran Kiera yang terkesan tidak ikhlas.
"Gue nggak ditawarin, nih? Gue mau juga." Revan menyahut.
"Setelah habisin rendang sepanci, masih laper aja lo, Kak? Itu perut apa karung goni?" sindir Kiera kesal.
"Kiera! Ini mi-nya gosong!" Nenek berteriak dari dalam dapur.
Spontan Kiera berbalik sambil berlari, lupa kalau masih mengenakan kebaya lengkap. Alhasil Keira terjatuh sambil bersujud. Steven menggeleng melihat tingkah istrinya.
"Disuruh bikin mi, malah cosplay jadi Malin Kundang."
***