Kiera kaget melihat kedatangan Eliza di rumah neneknya. Gadis itu menatap sinis ke arah Eliza. "Kenapa rumah tangga lo? Kena badai, ya? Itulah akibatnya ngaduin gue sama kak Revan. Kena azab kan lo?"
Eliza hanya diam, tidak berani menjawab ucapan Kiera. Sementara Mutia geram melihat perangai Keira.
"Jaga bicaramu, Ki! Kamu yang muda harus menghormati yang tua. Dia ini kakak iparmu."
Kiera hanya mendengus kesal menanggapi ucapan neneknya. Tanpa menjawab, gadis itu berjalan ke kamarnya, kemudian membanting pintu.
"Nggak usah diambil hati." Mutia mengelus pelan lengan Eliza.
"Untuk sementara kamu di sini dulu. Supaya Revan bisa instrospeksi diri. Kita lihat, berapa lama dia akan menjemput kamu."
Eliza ragu di dalam hatinya, mungkinkah Revan mau repot-repot menjemputnya? Bisa jadi pria itu justru merasa nyaman karena kepergiannya, bisa bebas bertemu dengan Grace.
Tiba-tiba mata Eliza memanas.
"Cup, nggak usah nangis. Nenek ngerti, pasti kamu berat berpisah dengan suami kamu. Tapi kita harus memberikan dia pelajaran. Supaya tau caranya menghargai kamu."
"Tapi, Nek ... saya takut dia direbut ... Grace." Eliza tak kuasa menahan air matanya.
"Sudah. Jangan merisaukan hal seperti itu. Serahkan kepada Allah. Banyakin doa. Sesungguhnya doa yang segera dikabulkan adalah doa istri kepada suaminya yang tidak berada di tempat yang sama atau saling berjauhan, hadist riwayat Tirmidzi."
Hati Eliza menjadi lebih tenang mendengar nasihat Mutia. "Iya, Nek. Eliza masuk kamar dulu."
Mutia mengangguk sambil tersenyum. "Sabar, ya, El. Hanya sholat dan sabar sebagai penolong bagi orang beriman."
Semalaman Eliza sholat dan berdoa, demi keutuhan rumah tangganya dengan Revan. Sepertinya doanya terhubung dengan Revan. Semalaman pria itu tidak bisa tidur dengan nyenyak.
"Ini mata gue kenapa nggak bisa diajak kerjasama? Besok gue mulai masuk kerja, sih?" Revan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.
"Kenapa kepikiran Eliza terus? Jangan-jangan dia ngadu sama Tuhannya? Pakai jalur langit dia."
(Tuhan dia, tuhan lo juga, Ege! 😁)
"Nggak! Gue nggak boleh kepikiran dia terus. Gue nggak mau tertarik kepada apapun selain uang." Revan bertekad dalam hatinya. Kemudian ia mencoba melanjutkan tidurnya.
***
Pagi harinya, Revan masuk kerja dengan mata pandanya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Selalu gelisah memikirkan entah apa.
"Kayaknya proyek sawit kita nggak berjalan lancar, Van. Ada saja kendalanya. Kemarin kena pasang air laut, eh barusan gue dapat laporan, lahan kita dirusak kawanan gajah yang sedang bermigrasi. Ada-ada aja deh, heran gue." Steven memijit pelipisnya.
"Dari sekian banyak proyek kita, cuma sawit ini aja yang nggak lancar. Entah ada apanya. Jangan-jangan lahan sawit kita bekas ladang pembantaian jaman perang dulu ...."
"Ngaco lo!" Revan tidak percaya dengan dugaan Steven, sebagai seorang pebisnis ia terbiasa berpikir logis.
"Udahlah, ngapain pusing mikirin proyek sawit. Itu juga gue nyoba-nyoba aja. Jalan syukur, nggak jalan ya udah. Lagian sumber cuan gue nggak cuma dari situ. Nikel sama batubara masih oke prospeknya, gue mau fokus disitu aja kayaknya."
Memang selain bos sawit, Revan juga punya usaha di bidang tambang. Nggak usah mupeng, cowok model gini cuman ada di wattpad yah! Catet!
"Kayaknya lo kuwalat sama istri lo." Steven berkata lagi. "Gue pernah denger dari ceramah mama dan AA, di televisi. Katanya, rejeki suami itu selain tergantung dari doa ibunya, juga tergantung dari ridho istrinya. Lo kan durhaka sama istri lo."