Jam dua pagi, Kiera terbangun dari tidurnya. Perutnya terasa sangat mulas, sudah bolak-balik ke kamar mandi, tapi tidak ada yang keluar. Rupanya dia sedang mengalami kontraksi. Kiera masih belum bisa membedakan mana yang kontraksi mana yang bukan.
Steven bukannya tidak tau kalau istrinya bolak-balik ke kamar mandi, tapi pria itu tetap memilih melanjutkan tidurnya, matanya terasa sangat berat setelah begadang menyelesaikan pekerjaan kantor. Beberapa hari ini Kiera memang sering terbangun malam-malam. Kandungan yang semakin besar membuatnya susah tidur. Daripada disuruh-suruh beli makanan ini itu, mending Steven pura-pura tidur aja.
Karena sudah tidak tahan, Kiera memutuskan untuk membangunkan suaminya.
"Bang, bangun ...."
Steven duduk sambil terus memejamkan mata. "Kenapa?"
"Kayaknya aku mau lahiran deh." Kiera mengusap pinggangnya yang terasa sangat pegal.
"Kamu yakin? Kemarin juga gitu, taunya kontraksi palsu." Steven ingat kejadian seminggu lalu, ya tengah malam gini.
"Yakin ini, sih. Udah sakit banget soalnya." Kiera meringis sambil terus memijit punggungnya.
"Harus dipastikan dulu. Ntar aku keburu ambil cuti, kamu nggak jadi lahiran lagi."
Kiera kesal dengan Steven yang kurang sat set sebagai suami. Katanya mau jadi suami siaga, mana buktinya?
"Ya udah, kalau nggak mau anter ke rumah sakit, aku berangkat sendiri aja!" Kiera meraih kunci mobil yang tergeletak di meja rias, juga dompet dan ponsel.
"Awas aja, kalau aku abis lahiran kamu ngaku-ngaku jadi bapak anak ini!"
Kiera hendak berjalan keluar kamar, Steven langsung melompat dari kasur, rasa kantuknya hilang seketika. Pria itu segera merebut kunci mobil di tangan Kiera.
"Tunggu lima menit, aku ganti baju dulu." Steven segera pergi ke kamar mandi untuk cuci muka.
Kiera memilih duduk di kasur, menunggu sambil menggerutu.
"Heran! Jadi suami nggak siaga amat. Bikinnya aja rajin!"
Setelah ganti baju dan mengambil keperluan lain, Kiera bergegas naik mobil. Tapi tiba-tiba perutnya terasa amat mulas. Kiera merasa sesuai mengalir di kakinya. Ketuban bercampur darah.
"Da-darah!" Steven panik melihat keadaan Kiera. "Sayang, itu kenapa?"
"Ini akibatnya kamu terlalu lelet di kamar mandi tadi!" Kiera menyalahkan Steven.
Steven langsung lemas, tenaganya langsung hilang, sejak kecil dia takut darah. Pria itu malah bersandar di mobil.
"Ini jadi jalan nggak, sih? Ayo! Keburu lahiran di sini!" Kiera gemas melihat suaminya yang payah.
"Sini kuncinya! Aku aja yang nyetir!" Dengan tidak sabaran, Kiera merebut kunci di tangan Steven.
"Nunggu apa, sih? Buruan masuk!" Kiera gemas melihat Steven yang masih saja syok.
Di jalan yang lengang, Kiera menyetir ugal-ugalan seperti di film the fast and the furious. Steven hanya bisa beristighfar dalam hati.
"Pelan dikit, Sayang. Sabar. Pelan-pelan pak supir ...." Steven berusaha membujuk Kiera untuk mengurangi kecepatan.
"Sabar matamu! Ini udah mules banget!" Kiera malah marah, sambil terus menambah kecepatan.
Sampai di rumah sakit, Keira langsung pergi ke UGD. Perawat dan dokter jaga langsung berhamburan menyambut Kiera yang sudah berdarah-darah.
"Bu, ini mana dulu yang harus ditangani?" Perawat bertanya dengan bingung.
Kiera menoleh ke belakang, tampak Steven yang pingsan di atas brankar. Kiera menepuk dahinya keras.
"Oalah! Dia malah pingsan!"
***
Steven terbangun saat mendengar Adzan subuh, hidungnya langsung mencium bau obat. Pria itu langsung terduduk setelah ingat kejadian terakhir.
Steven langsung bertanya kepada perawat yang kebetulan lewat.
"Sus, istri saya mana?"
"Istri Bapak udah lahiran. Bapak, sih, tadi pingsan." Perawat itu menjawab sambil tersenyum.
Steven bergegas pergi ke ruangan Kiera. Tampak Kiera tertidur karena kelelahan. Steven jadi merasa bersalah kepada Kiera.
"Sayang ..." Kiera memanggil istrinya.
"Apa?" Kiera langsung bangun sambil melotot. Steven mundur satu langkah karena takut.
"Anak kita mana?" tanya Steven sambil menghampiri boks bayi yang kosong.
"Masih dibersihkan. Kamu gimana, sih? Tadi aja enak-enakan pingsan, aku berjuang seorang diri tau. Punya suami kok gini amat, lemah! Bikinnya aja paling semangat." Kiera mengoceh panjang lebar.
"Ya maaf lah, Sayang. Aku tadi panik banget loh lihat keadaan kamu yang berdarah. Pasti sakit banget, ya?" Steven mengelus pelan kepala Kiera yang rambutnya acak-acakan seperti singa Madagaskar.
"Ya sakitlah! Namanya juga taruhan nyawa!" Kiera masih ngegas, hatinya masih kesal luar biasa.
"Nanti, anak kedua kita adopsi aja, ya. Aku nggak tega liat kamu kesakitan kayak tadi." Steven meraih tangan Kiera dan menciumnya, sebagai tanda permintaan maaf.
"PAOK!"
***
Jam delapan, suster datang mengantarkan sarapan untuk Kiera. Sambil makan, Kiera celingukan mencari suaminya.
"Sus, suami saya kemana?" Kiera bertanya kepada suster yang sedang memeriksa selang infus.
"Tadi bapak pamit pulang sebentar, Bu. Katanya mau ada paket yang datang. COD." Suster menjawab sambil tersenyum.
"Nggak jelas banget itu orang. Istri lagi di rumah sakit, masih sempat aja COD an. Kalau nggak pingsan, ya ilang-ilangan!" Kiera makan sambil menggerutu.
"Suaminya di refund aja, Bu." Suster nyeletuk. "Upsiee ... maaf, Bu. Bercanda, bercandya ...." Suster itu tersenyum lagi.
"Suster punya suami?" tanya Kiera.
"Belum, Bu. Memang kenapa, ya?" Balas suster, sambil memasang ekspresi tersinggung, maklum udah akhir baligh belum sold out juga.
"Mau pinjem suami saya nggak?"
***
Gaes, ini kan Kiera udah lahiran yah ... Apa tamat sampai sini aja yah? Kan udah banyak banget tuh part-nya hehe ....
