Revan meletakkan setumpuk berkas di meja Steven. Steven mendongak ke atas, memandang dengan heran ke arah Revan.
"Apa ini?"
"Buruan kerjain. Lusa harus udah kelar semua." Revan memerintah dengan semena-mena.
Dengan dahi berkerut Steven memeriksa berkas-berkas yang menggunung di depannya. "Nggak salah? Ini deadline-nya kan masih Minggu depan."
"Pokoknya harus selesai semua. Lusa paling akhir. Gue nggak mau tau gimana caranya."
Steven menggerutu pelan. "Dasar bos solimi. Mentang-mentang ngasih gaji."
"Setelah itu kita liburan. Dua hari tiga malam."
Steven kaget mendengar ucapan Revan. "Yakin, Bro? Nggak papa kalau kita berdua ninggalin kantor dalam keadaan sibuk gini?"
"Ya makanya. Kudu ngebut selesaikan ini semua. Go go go! Kerjain!" Revan memberi semangat untuk Steven.
"Sekata-kata aja dia ngomong. Ini gue lembur siang malam juga nggak bakal kepegang. Bisa-bisa gue tipes karena begadang terus." Steven menggerutu lagi.
"Lagian mau liburan kemana, sih, Bro? Tumben lo dermawan banget ngajak liburan bareng segala. Ini bukan gaya lo banget. Jangan-jangan potong gaji lagi?" Steven curiga kepada Revan.
"Ini ide istri gue. Bisa-bisanya itu perempuan bukannya tidur, malah dapat wangsit malam-malam. Ngajak hiking ke Rinjani coba. Kalau ada yang sewain balon udara kayak di Cappadocia ya nggak papa. Lah ini, masa gue harus gendong dia sampai atas?"
"Ya namanya demi istri, Bro." Steven cekikikan mendengar cerita Revan.
"Yang ada ngegelinding ke bawah berdua. Nggak jadi camping di atas gunung. Berhenti ketawa nggak lo?" Revan mengacungkan gulungan kertas ke arah Steven yang terlihat sangat menikmati penderitaannya.
"Ntar, ya. Kalau si Kiera hamil, pasti permintaannya lebih absurd. Siap-siap aja lo!" Revan memperingatkan lagi.
"Mau hamil dari mana? Dia disenggol aja, gue mau dibacok." Steven tak sengaja malah curhat.
Revan kaget mendengar ucapan Steven. "Hah? Yang bener? Jadi kalian belum ...." Revan tidak meneruskan ucapannya.
Steven hanya diam, malas menjawab pertanyaan Revan. Malu juga kayaknya, kesannya dia jadi suami kurang menarik.
"Ntar gue bilangin si Kiera. Kurang ajar banget dia tuh."
"Nggak usah repot-repot. Kita urus aja rumah tangga masing-masing. Oke?" Steven berusaha menenangkan Revan.
"Ya tapi sebagai kakaknya gue jadi nggak enak sama lo, Bro ... Keterlaluan banget adek gue, udah nggak mau masak, nggak mau ngelayanin yang lain juga." Revan memandang penuh rasa prihatin ke arah Steven.
"Pernah, gue bangun tidur, semua makanan udah ada di atas meja. Kirain dia yang masak. Taunya gue ketiduran di warteg." Steven curhat lagi.
Revan mengelus dada. "Ya Allah, solimi banget anak itu."
"Aman. Gue nggak papa kok. Udah biasa kek gitu. Tahan gue. Aman pokoknya, nggak akan gue ceraikan adek lo." Steven menepuk pundak Revan pelan.
"Emang lo nggak usaha, Bro? Ngapain gitu ...." Revan bertanya lagi.
"Ya usaha gimana? Masa gue paksa? Kasian juga itu bocah. Nanti dia trauma."
"Kan nggak dosa, Bro ...."
"Iya tau. Tapi tetap aja gue nggak mau maksa. Udah ah, ngomongin apa, sih, kita? Lo keluar deh. Gue mau kerja." Steven mendorong Revan keluar dari ruangannya.
***
Steven pulang ke rumah, seperti biasa rumah dalam keadaan sepi. Teras masih gelap. Kiera ini kadang malasnya kelewatan. Nyalain lampu teras aja nggak mau.
"Assalamualaikum, ya ahli kubur." Steven membuka pintu dengan kunci cadangan.
"Waalaikum salam, ya ahli waris." Kiera menjawab sambil sibuk di dapur.
Steven mengerutkan dahi, tumben Kiera masuk dapur. Pasti tanda-tanda hari kiamat. Steven pun segera menyusul ke dapur.
"Lo masak, Ki?"
"Ini gue baru dikasih duren sama tetangga. Kayaknya gue diprank deh."
"Emang kenapa?"
"Masa ini duren nggak ada isinya. Udah capek gue kupas padahal ...." Kiera membanting pisaunya dengan kesal.
Steven menengok ke arah meja dapur. Kemudian ia mengelus dada.
"Pantesan, Munaroh. Nggak gitu cara ngupasnya!"
Keterlaluan banget si Kiera. Masa dia ngupasnya kayak gini 🤣🤣🤣
***
Ini ceritanya mau dilanjut apa nggak sih, Gaes? Gue jadi bertanya-tanya 🥺