58

1.1K 73 14
                                    

Eliza menunggu sampai Revan selesai sholat. Setelah itu ia bergegas menghampiri suaminya. "Mas, kamu tadi habis sholat?"

"Nggak. Aku tadi habis meditasi." Revan menjawab santai sambil melipat sajadah.

"Alhamdulillah, Mas. Akhirnya kamu dapat hidayah juga." Eliza mengucapkan dengan mata berkaca-kaca. "Aku sangat terharu, Mas."

"Nggak usah lebay. Sholat itu kewajiban. Memang sudah seharusnya dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam." Revan menjawab dengan bijak.

"Subhanallah. Aku nggak nyangka kamu bisa bicara seperti itu, Mas." Eliza amat bahagia melihat suaminya berubah sangat drastis.

Revan agak malu dengan reaksi istrinya yang berlebihan. "Udah. Nggak usah kebanyakan drama. Sekarang aku lapar. Udah beres belum masaknya?"

"Sudah, Mas. Sebentar aku siapkan." Eliza segera melesat ke dapur untuk menyiapkan makanan. Tak hentinya ia selalu mengucap syukur karena perubahan Revan.

"Terimakasih, ya Allah . Engkau memang maha membolak-balikkan hati."

***

Revan mengurungkan keberangkatannya ke Papua. Ia masih trauma untuk naik pesawat. Untung saja Steven bersedia menggantikan dirinya.

"Makasih, Steve. Nanti bonus lo gue tambah deh."

"Sama-sama. Gue sih rela berkorban apa aja demi memperkaya teman sendiri." Steven tersenyum sambil menepuk bahu Revan.

"Fokus aja sama istri lo yang lagi hamil. Kasih perhatian lebih." Steven mengamati Eliza yang sedang sibuk menyiapkan minuman di dapur.

"Nggak usah lo ajarin gue juga ngerti." Revan kurang senang melihat Steven yang terkesan amat perhatian kepada istrinya.

"Nggak usah khawatir sama istri gue. Dia udah beruntung banget dapat suami kayak gue. Udah kaya, mapan, tampan bersertifikat dan bergaransi, tidak sombong dan rajin menabung." Revan membanggakan dirinya sendiri.

"Tapi sholeh nggak?" cibir Steven.

"Sholeh dong, Mas. Tadi baru aja sholat." Eliza datang membela suaminya.

Revan bukannya senang mendengar pembelaan istrinya, yang ada malah malu.

"Yakin dia sholat?" Steven melongo mendengar fenomena langka ini.

"Iya, Mas. Beneran. Tadi aku lihat sendiri kok." Eliza menjawab dengan berapi-api.

"Wah, tanda-tanda hari kiamat, nih." Steven tersenyum jahil. Membuat Revan semakin kesal.

"Udah, buruan habisin minumnya. Terus pulang sana." Revan terang-terangan mengusir Steven.

***

Eliza merasa senang karena beberapa hari ke depan Revan mengambil cuti. Peristiwa ini jarang terjadi. Revan tidak pernah libur kerja, walaupun idul adha sekalipun. Pria itu baru libur kalau sudah sakit.

"Mas, pijitin aku, bisa? Kayaknya aku masuk angin deh." Eliza langsung duduk di samping Revan, sambil membuka baju.

Revan yang sedang sibuk dengan laptopnya, gelagapan melihat istrinya ujug-ujug buka baju tanpa disclaimer terlebih dahulu.

"Eh, ini masih siang loh." Revan malah salah fokus.

"Pijitin aja, Mas. Sambil kerokin sedikit." Eliza mengulurkan balsem dan sebuah koin.

Dengan kaku Revan mulai mengerok punggung istrinya yang putih mulus seperti bihun.

"Ini mau digambar motif apa?" tanya Revan lagi.

"Terserah kamulah, Mas. Mau motif floral kek, polkadot kek, Tartan kek." Eliza malah kesal mendengar pertanyaan bodoh suaminya.

"Pindah dong, Mas. Jangan disitu-situ aja keroknya." Eliza memberi perintah.

"Aku lagi nyari tulisan hehe ...." Revan malah cengengesan.

"Dikira punggung aku bungkus ale-ale apa? Ada tulisan coba lagi." Eliza kesal sambil memakai bajunya.

"Lho, kok udahan, sih?"

"Habis, kamu keroknya nggak niat. Nggak enak sama sekali. Nanti aku minta kerok sama orang lain aja."

"Kerok sama siapa?" Revan bertanya curiga.

"Tukang pijat langganan aku."

"Laki apa perempuan?" tanya Revan lagi.

"Perempuan lah, Mas. Gila apa kamu? Masak laki-laki. Itu namanya aku sodakoh." Eliza malah uring-uringan mendengar pertanyaan suaminya.

"Tolong kamu ke pasar ya, Mas. Kulkas udah kosong soalnya. Nggak ada yang bisa dimasak." Eliza memberi perintah.

"Gofood ajalah. Kan kamu lagi sakit, nggak usahlah repot-repot masak." Revan malas kalau disuruh ke pasar. Merusak kegantengan aja.

"Siapa bilang aku yang masak? Ya kamulah, Mas." Eliza menjawab ketus. "Kamu berangkat aja dulu, nanti aku WA, apa-apa aja yang perlu kamu beli."

Revan memijat tengkuknya sambil mengeluh. "Ini seriusan, aku disuruh ke pasar?"

"Ya Allah, Mas. Kamu aku suruh ke pasar aja nggak mau. Aku cuma nyuruh kamu belanja, Mas, bukan ke medan perang. Gitu yang disebut suami siaga? Aku juga kalau nggak sakit, nggak bakalan minta tolong sama kamu. Terus aku harus minta tolong sama siapa? Suamiku cuma satu, yaitu kamu. Laki-laki sih enak, bisa punya istri lebih dari satu." Eliza hampir menangis karena Revan berani membangkang perintahnya.

"Malah melantur kemana-mana. Iya-iya, aku yang belanja." Revan mengambil kunci mobilnya kemudian bergegas pergi ke pasar.

"Ini belanjanya nggak bisa di supermarket aja?" Revan mencoba menawar.

"Nggak bisa, Mas. Aku mau beli kelapa parut. Di supermarket mana ada. Adanya yang beku, nggak fresh. Aku nggak suka. Mau dibikin klepon soalnya. Kelapa muda, ya, Mas," pesan Eliza panjang lebar.

"Mudanya kisaran usia berapa? Di bawah 20 apa 25 ke atas?"

"Apanya, sih, Mas?" Eliza bingung mendengar pertanyaan suaminya.

"Umur kelapanya."

"Ya Allah, kamu bilang aja ke yang jual. Kelapa muda, gitu aja. Kenapa pakai umur segala? Nggak sekalian jenis kelamin. Jangan lupa, parutnya panjang-panjang, kayak buat serundeng."

"Ribet deh. Nggak usah bikin klepon ajalah."

"Namanya juga orang ngidam, Mas. Turutin aja apa susahnya, sih? Kamu nih bisanya cuma ngeluh aja. Aku hamil juga nggak tiap tahun. Lagian aku hamil juga karena perbuatan kamu."

"Jangan-jangan nanti aku juga yang disuruh bulet-buletin klepon?" tebak Revan.

"Iyalah, siapa lagi."

***

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang