24

1.7K 107 0
                                    

"Nenek apa kabar?" Steven yang tertinggal di belakang ikut menyalami Mutia dengan akrab. Sejak kuliah dia memang sering main ke rumah Revan. Sudah sering bertemu dengan nenek Mutia dan juga adik Revan.

Mutia menyipitkan mata melihat Steven. "Kamu, Steve? Udah lama kamu nggan main ke rumah. Sombong kamu sekarang."

Mutia mengacak rambut Steven, perlakuannya seperti kepada cucu sendiri.

"Udah nikah kamu?"

"Belum, Nek. Pacar aja nggak punya." Steven  tersenyum penuh arti ke arah Eliza, sontak Eliza memalingkan wajah ke arah lain.

"Mau Nenek cariin apa gimana?" goda Mutia.

"Nggak usah repot-repot, Nek. Udah ada kok, kandidatnya. Nih, dia." Steven menunjuk ke arah Eliza dengan malu-malu.

Mutia melongo mendengar ucapan Steven. "Kamu tau dia siapa?"

"Eliza kan, Nek? Asisten rumah tangganya Revan." Steven bertanya dengan polos. Sedang Eliza dan Revan saling pandang dengan ekspresi putus asa.

"Asisten rumah tangga katamu?" Mutia bertanya dengan marah.

Steven mengangguk pelan. "Ada yang salah, Nek?" Steven mengangguk pelan.

Mutia memandang tajam ke arah Revan. "Begini kelakuan kamu, Van? Istri sendiri kamu bilang pembantu?"

Wajah Revan seketika memucat, berkali-kali ia mengusap wajahnya kasar. Sedang Steven hanya bisa berdiri kebingungan.

"Tunggu. Tadi Nenek bilang apa?" Steven bertanya dengan hati berdebar-debar.

Mutia menarik tangan Eliza agar berdiri di sisinya. "Asal kamu tau, ya, Steve. Eliza ini adalah istri sahnya Revan."

Krekk ....

(Ini ceritanya suara hati Steven yang patah yagesya ....)

Steven memegangi dadanya, seperti orang yang terkena serangan jantung.

"Nenek yakin?"

"Apa maksudmu, Steve? Kamu pikir Nenek sudah pikun, begitu? Jelas-jelas Nenek sendiri yang menikahkan mereka berdua!" Mutia menjelaskan dengan nada berapi-api.

"Benar begitu, Van?"

Revan hanya diam, tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Steven beralih ke Eliza.

"Dek ...."

Eliza hanya bisa menunduk. Perempuan itu juga merasa bersalah, karena turut andil untuk menipu Steven.

"Kalian benar-benar, ya ...." Steven berkata dengan kecewa.

"Mas, aku minta maaf. Aku salah ...." Eliza berkata dengan pelan. Merasa iba melihat keadaan Steven yang syok.

Steven mengangkat sebelah tangannya. "Udah. Aku nggak mau denger ...."

"Steve, bukannya Nenek mau ngusir kamu. Tapi ada hal penting yang harus kami bahas. Kamu bisa kan ...."

"Iya, Nek. Aku ngerti." Steven mengerti kalau kedatangannya tidak diharapkan, ia telah diusir secara halus.

"Mana berkasnya?" Steven berbicara kepada Revan.

Revan masuk ke kamarnya, kemudian keluar dengan membawa berkas yang dimaksud Steven.

"Lo masih utang penjelasan sama gue." Steven berkata datar kepada Revan.

***

"Nenek nggak nyangka, keadaan rumah tangga kalian lebih buruk dari yang Nenek bayangkan. Kalian pisah kamar. Revan selingkuh, dan yang paling bikin Nenek sakit hati, bisa-bisanya dia mengakui kamu sebagai pembantu. Keterlaluan." Mutia berbicara berdua dengan Eliza di kamar tamu.

"Maafkan saya, Nek." Eliza hanya bisa menunduk.

Mutia menghela nafas dalam, kemudian mengelus pelan kepala Mutia.

"Bukan begitu, El. Nenek nggak menyalahkan kamu. Cuma, seharusnya kamu terbuka dengan Nenek. Kalau Revan memperlakukan kamu dengan buruk, Nenek ikut merasa bersalah. Kamu, Nenek nikahkan dengan cucu Nenek, bukan untuk menderita."

"Cerita sama Nenek. Selain berselingkuh, apa lagi yang dilakukan Revan? Dia kasar sama kamu?"

Eliza menggeleng pelan. "Tidak, Nek."

"Yang benar?" Mutia menatap penuh selidik. Ia merasa Eliza menyembunyikan sesuatu.

Eliza menggeleng lagi. Mutia memutuskan untuk percaya saja.

"Lain kali, kalau ada apa-apa cerita sama Nenek. Janji?"

Mutia mengangguk sambil memeluk Mutia. "Iya, Nek."

"Serius. Jangan iya-iya saja!" Mutia membalas pelukan Eliza.

Di luar kamar, Revan mondar-mandir, resah menunggu. Kira-kira apa yang dibicarakan Eliza dan neneknya.

Tidak seberapa lama, kedua wanita itu keluar kamar. Revan segera menghampiri mereka berdua.

"Nek ...."

Mutia menggandeng tangan Eliza. "Mulai sekarang, dia akan Nenek bawa."

"Kemana, Nek?" tanya Revan.

"Ke rumah Nenek. Daripada di sini kamu sia-siakan." Mutia menatap tajam kepada Revan, kemudian memalingkan muka.

Revan menatap ke arah Eliza, perempuan itu hanya bisa menunduk pasrah.

"Tapi, Nek ...." Revan mencoba melayangkan protes.

"Kemasi barang kamu, El." Mutia memberi perintah.

Eliza masuk ke kamar. Sebenarnya tidak banyak barangnya yang tertinggal di kamar ini. Sebagian besar sudah Eliza kemasi tadi pagi.

"Untuk sementara, jangan dulu datang ke rumah Nenek." Mutia bicara sambil memalingkan muka. Tampak tidak sudi melihat wajah Revan. "Nenek belum mau bertemu dengan kamu. Hati Nenek terlalu sakit. Kali ini perbuatan kamu sangat keterlaluan."

"Nek, aku minta maaf."

Mutia menggeleng pelan, kemudian mengembuskan nafas. Mutia menepuk pelan pundak Revan. "Jangan minta maaf kepada Nenek. Minta maaflah kepada istrimu. Kamu sudah mendzolimi dia, Van."

***

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang