Revan memijit pelipisnya, ketika mendapat laporan kalau bisnis nikelnya tengah menurun, dampak dari perang Rusia dan Ukraina. Padahal baru saja dia senang, karena bisnis sawitnya lancar. Yah, beginilah namanya bisnis. Tidak ada yang namanya zona nyaman. Bagaikan berjalan di tangga bekas tumpahan minyak, setiap saat bisa saja tergelincir.
"Sial." Revan mengumpat pelan sambil mencampakkan berkas-berkas di depannya.
Eliza yang kebetulan habis sholat malam, terkejut melihat meja kerja Revan yang biasanya rapi, berubah jadi berantakan.
"Kamu kenapa, Mas?" Eliza mengamati wajah Revan yang kusut.
"Aku jelasin juga percuma. Kamu mana ngerti."
Eliza agak tersinggung mendengar ucapan Revan. Tapi ia berusaha untuk tetap sabar. Ia yakin, Revan begitu karena ada masalah pekerjaan.
"Maaf, Mas. Aku memang nggak bisa bantu apa-apa. Aku cuma istri yang taunya cuma masak, sama bersih-bersih rumah. Tapi kalau untuk sekedar mendengarkan keluh kesah kamu, aku masih bisa kok, Mas. Kalau kamu lupa, aku juga bisa mendoakan kamu. Kalau kamu belum tau, doa istri untuk suaminya akan diijabah oleh Allah."
Eliza memutuskan untuk keluar dari ruangan Revan, hendak memasak menu untuk sahur.
Revan merasa bersalah karena mengatakan sesuatu yang keterlaluan. Tadi ia tidak bermaksud seperti itu. Mungkin ini efek dari pikirannya yang kusut.
"El, aku minta maaf. Tadi aku nggak bermaksud ...."
"Aku ngerti, Mas. Kayaknya kamu lagi ada masalah pekerjaan." Eliza menjawab sambil tersenyum tulus.
Revan merasa bersyukur, untung saja punya istri yang pengertian. Kalau tidak, malah makin pusing. Sudah ruwet mikir kerjaan, eh istri pakai acara ngambek segala.
Mungkin inilah alasan neneknya memilih Eliza untuk menjadi istrinya. Eliza tipe wanita yang sabar dan tidak neko-neko.
"Kalau ada masalah ... sholat, Mas. Ingat, hanya sabar dan sholat penolong kita."
Revan agak malas kalau membahas masalah sholat. Walaupun ia puasa, tapi Revan tidak pernah sholat. Revan puasa hanya untuk menemani Eliza. Sekaligus meringankan beban istrinya untuk tidak masak saat sarapan.
"Percuma kamu puasa kalau nggak sholat. Kayak orang pakai baju, tapi nggak pakai celana. Padahal sholat adalah ibadah yang paling awal diperiksa. Kalau sholatnya bagus, maka ...."
"Kamu masak apa?" Revan mengalihkan pembicaraan.
"Sholat, Mas. Sayang banget kalau kamu puasa tapi nggak Sholat."
"Aku puasa karena sekalian diet kok. Bukan niat mau ibadah." Revan mengelak.
"Astaghfirullah. Istighfar, Mas. Kamu nggak nyadar, mungkin saja masalah yang sedang kamu hadapi ini, suatu bentuk teguran dari Allah. Sebenarnya Allah itu kangen sama kamu, sama doa-doa kamu."
Revan hanya diam mendengar nasihat istrinya. Entah sudah berapa lama ia tidak pernah berdoa.
"Kamu tau, kapan terakhir kali aku berdoa?"
"Kapan itu, Mas?"
"Saat mama sakit!" Revan berusaha menahan emosinya saat membuka luka lama.
"Kamu tau, El. Aku tipe manusia yang jarang meminta. Aku terima saja apa yang 'dia' kasih dalam hidup aku. Tapi saat mama sakit, aku meminta dengan sangat kepada 'dia'. Aku ingin mama sehat, aku nggak mau mama meninggal. Tapi apa? Nggak dikabulkan. Mama tetap sakit, dan itu bertahun-tahun. Papa kirim aku pesantren. Supaya apa? Supaya aku nggak lihat mama sekarat, meregang nyawa. Dua tahun aku di pesantren, aku nggak tau kalau mama udah nggak ada. Padahal aku rajin tiap abis sholat doain mama supaya sembuh." Revan berusaha menahan suaranya yang bergetar.
"Ternyata mama udah nggak ada ... Papa bohong setiap aku tanya keadaan mama. Katanya mama baik-baik saja. Alasannya supaya aku fokus belajar. Saat itu juga aku minta pulang, aku tidak sudi lagi tinggal di pesantren. Kamu tau apa? Di rumah sudah ada ibu tiri, dan juga adik tiri. Papa menikah lagi tanpa sepengetahuan aku. Papa buang aku ke pesantren untuk menyembunyikan semuanya! Untung saja aku tau dari teman aku, kalau mama sudah meninggal, kalau enggak ... sampai kapan papa merahasiakan semuanya?"
Eliza ikut menangis mendengar cerita suaminya. Eliza pun segera memeluk Revan. "Udah, Mas. Nggak usah cerita lagi."
"Sebenarnya tuhan itu ada nggak, sih, El?"
"Ada, Mas. Allah itu ada." Eliza menjawab sambil menangis.
"Katanya asal kita mau berdoa, pasti dikabulkan? Aku nggak minta banyak, El. Aku cuma mau mama sembuh. Tapi kenapa malah dibuat mati ...."
"Apa susahnya bikin mama sembuh? Katanya dia maha kuasa? Masa bikin mamaku sembuh aja nggak mau?"
***