"Nek, saya mau bicara ...." Eliza memberanikan diri untuk bicara kepada nenek Mutia saat sedang mengurut kaki wanita tua itu.
"Kalau kamu mau minta pernikahan ini dibatalkan, sebaiknya lupakan saja. Nenek nggak mau dengar." Dari gelagatnya Mutia sudah tau apa yang akan dibicarakan Eliza.
"Kamu habis dimarahin Revan?" tanya Mutia lagi.
"Enggak kok, Nek. Cuma ...."
"El, kamu kan sejak kecil sudah tau watak dia. Abaikan saja. Anaknya memang begitu. Julid. Tapi kamu tenang aja. Dia nggak mungkin berani pukul kamu, Nenek jamin." Mutia membalikkan badan, memberi isyarat kepada Eliza untuk berhenti mengurut.
"Saya cuma nggak enak sama mas Revan, Nek. Kayaknya dia tertekan dipaksa menikah dengan saya." Eliza mengutarakan isi hatinya sambil terus mengurut kaki Mutia.
Mutia menghela nafas mendengar curahan hati Eliza. "Nenek melakukan ini demi kebaikan dia. Suatu saat dia pasti akan berterima kasih dengan Nenek."
Mutia memang terkesan sangat ngotot menjodohkan Revan dan Eliza, sebenarnya ini bukan tanpa alasan. Sejak Mutia mengetahui rencana Lusi, ibu tiri Revan, untuk menjodohkan Revan dengan salah satu keponakannya, maka ia segera mengatur rencana perjodohan ini.
"Kamu tau, kenapa kamu yang harus jadi istrinya Revan?" tanya nenek Mutia lagi.
Eliza menggeleng pelan. "Memangnya kenapa, Nek?"
"Lusi, si Medusa itu, berencana menikahkan Revan dengan keponakannya. Dasar wanita ular. Dipikir nenek nggak tau apa rencana dia. Pasti mau menguasai harta Revan. Selama Nenek hidup, nenek tidak akan rela harta Nenek dinikmati oleh Lusi. Kalau bukan karena Keira, Nenek pasti sudah mengusir dia dari sini."
Keira adalah adik tiri Revan. Dia adalah gadis yang sangat manja. Terutama kepada kakaknya. Seperti ibunya, dia tidak setuju dengan rencana pernikahan Revan dan Eliza. Sejak kedatangan Eliza, gadis itu selalu memusuhinya.
"Tolong Nenek. Hanya kamu yang bisa." Mutia menepuk pelan pundak Eliza.
***
Setelah acara pernikahan sederhana di halaman rumah, Revan segera mengajak Eliza pindah ke apartemennya.
Tentu saja rencana itu ditolak mentah-mentah oleh Mutia. "Nenek nggak setuju! Nenek takut kamu jahatin Eliza di sana."
"Nek, Eliza itu istri aku. Mana mungkin aku jahatin dia? Aku juga nggak mau kena azab, Nek. Iya kan, Sayang?" Revan melotot ke arah Eliza, menyuruh gadis itu untuk mengangguk.
"I-iya, Nek. Mas Revan nggak mungkin jahat sama Eliza. Dia pasti jagain Eliza dengan baik." Eliza berkata terbata-bata. Sejak kecil dia memang tidak pernah diajarkan untuk berbohong.
"Lagipula, sudah kewajiban istri untuk mengikuti suaminya kemanapun dia pergi," imbuh Eliza.
"Tapi tetap saja Nenek khawatir. Perasaan Nenek kok nggak enak, ya?" Mutia menekan dadanya.
"Khawatir apa, sih, Nek? Masa nggak percaya sama cucu sendiri?" Revan memijit pundak neneknya dengan manja, agar diijinkan pindah.
Akhirnya, mau tidak mau Mutia menyetujui permintaan Revan. "Baiklah, kalau memang itu keputusan kalian."
Mutia kemudian meraih tangan Eliza. "Jangan sungkan ngadu sama Nenek, kalau Revan berani jahatin kamu."
Eliza melirik takut ke arah Revan sebelum mengangguk. "I-iya, Nek."
***
Dalam perjalanan ke apartemen Revan, pria itu lebih banyak diam. Eliza merasa canggung dengan keheningan ini.
"Mas, aku boleh nanya?" Eliza melirik Revan takut.
"Udah dinikahin masih banyak nanya juga!" Revan menjawab ketus.
Eliza jadi menyesal karena sudah membuka percakapan. Paling benar dia mengunci mulut kalau sedang bersama Revan. Lebih safety.
"Nanya apa? Cepetan!"
Eliza menelen ludah, tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering.
"Cuma mau nanya, kenapa Mas nggak mengundang teman-teman kerja Mas?" Eliza heran karena dari sekian banyak tamu, hanya didominasi keluarga, tetangga dan juga kolega nenek Mutia, tak nampak sama sekali teman-teman Revan.
Revan melirik Eliza sekilas. Kemudian kembali fokus ke jalanan.
"Memang penting apa, ngasih tau orang-orang?" Revan balik bertanya.
"Di agama dianjurkan, Mas. Supaya tidak menjadi fitnah." Eliza menjawab pelan. Dia selalu saja ketakutan saat bicara dengan Revan, takut salah.
"Mas malu, karena saya jelek?" tanya Eliza lagi.
"Lah, itu tau." Revan menjawab cuek. Padahal aslinya bukan itu yang ada dipikirannya. Eliza bukan gadis jelek. Gadis itu justru nampak anggun dan bersahaja dengan jilbab segi empatnya. Seperti penampilan guru-guru SD.
"Maaf, kalau saya membuat Mas malu. Keadaan saya memang begini adanya. Kurang pinter dandan, kurang modis." Air mata Eliza mulai keluar.
"Nangis lagi." Revan berdecak sebal.
"Maaf, Mas. Mata saya emang udah begini setelannya. Suka tiba-tiba berair. Mungkin iritasi." Eliza beralasan sambil menyeka kasar air matanya menggunakan jilbabnya.
"Bukan iritasi, tapi irigasi. Mata lo ada irigasinya. Makanya berair terus." Revan berkata ketus. "Udah, jangan dilap pakai jilbab! Jorok banget. Tuh kalau mau, ada kanebo di jok belakang."
Walau kesal, akhirnya Revan mengulurkan juga sapu tangan dari saku celananya.
"Jangan buang ingus di sana. Sapu tangan mahal soalnya. Itu sovenir waktu gue diundang mas Kaesang nikah kemarin."
Dengan ragu Eliza menerima sapu tangan Revan, tapi tidak berani menggunakannya. Untuk mengatasi air matanya yang terus berjatuhan, Eliza mendongakkan wajah. Revan memutar mata melihatnya.
"Gue heran, ada gitu manusia kayak lo. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Gue jadi penasaran, selembut apa hati lo? Jangan-jangan hati lo terbuat dari ager-ager?"
"Kalau hati saya terbuat dari ager-ager, pasti hati Mas Revan terbuat dari aspal. Keras." Entah mengapa Eliza reflek menjawab. Membuat mata Revan mendelik ke arahnya.
"Pasti pas hamil mama lo minumnya bukan susu hamil, tapi minum downy."
Mendengar almarhum mamanya disebut, tangis Eliza semakin menjadi. "Jangan bawa-bawa orang yang udah nggak ada, Mas. Saya jadi sedih."
Revan mulai jengah dengan sikap istrinya. "Udahan kek, nangisnya. Udah kayak kunti di pohon sawo nenek."
"Saya emang paling nggak bisa kalau ada yang ngebahas almarhum mama saya, Mas. bawaannya sedih ...." Eliza terus menangis, membuat Revan kesal.
"Kalau berhenti nangis, gue belikan es krim."
Mendengar tawaran Revan, seketika tangis Eliza berhenti. "Dua ya, Mas?"
"Dasar ...." Revan berdecak sebal sambil membelokkan mobilnya ke minimarket.
***
Karakter Eliza memang nangisan yagesya, kayak authornya 🤣🤣 🤣
Kalian jangan keburu ngehujat si Revan, sebenarnya dia baik kok. Cuma agak cerewet aja mulutnya.
Reader bilek : Affah iyah?
