"Nanti setelah aku pulang kerja, kita ke rumah nenek, ya." Revan berkata saat sarapan.
Eliza yang sudah beberapa lama tidak berkunjung ke rumah Mutia, senang mendengar ucapan Revan.
"Beneran, Mas? Seminggu yang lalu kamu juga ngomong gitu, eh nggak taunya pending ... katanya kamu lagi banyak kerjaan."
"Enggak, hari ini pasti jadi. Ada masalah mendesak soalnya."
Eliza khawatir mendengar jawaban Revan. "Nenek sehat-sehat aja, Mas?"
"Bukan soal nenek. Tapi ini soal Keira. Dia buat masalah lagi." Wajah Revan tampak sangat serius ketika bicara. Membuat Eliza tidak berani berkata apa-apa lagi.
"Mas, temenku mau main kesini boleh?" tanya Eliza hati-hati. "Temen waktu di pesantren dulu."
"Boleh aja. Sering-sering aja kamu ngundang temen, supaya kamu nggak kesepian." Revan mengiyakan dengan mudah. "Tapi dia cewek kan?"
Eliza kaget mendengar pertanyaan Revan barusan. "Astaghfirullah. Ya jelas cewek lah, Mas. Ngapain juga aku bawa cowok ke rumah."
"Orang cuma nanya."
"Iya, tau. Tapi nanya gitu apa maksudnya? Dipikir ak ...."
"Aku berangkat duluan, ya. Ada meeting pagi." Revan memotong ucapan istrinya. Pria itu segera bangkit setelah selesai sarapan.
Eliza hanya bisa menyimpan kekesalannya sampai Revan pulang nanti.
***
Pukul sepuluh, teman Eliza yang bernama Amira, datang ke rumah. Amira tampak cantik dengan gamis terusan dan juga hijab lebar warna pastel.
Dengan antusias Eliza menyambut kedatangan temannya itu, kangen juga karena sudah beberapa tahun tidak bertemu. Amira adalah teman satu kamar Eliza saat mereka menimba ilmu di pesantren.
"Assalamu'alaikum, ya Allah makin cantik aja kamu, El." Amira segera memeluk Eliza setelah dibukakan pintu.
"Waalaikum salam. Kamu juga sama, Mir. Makin manis aja."
Kedua sahabat itu saling berpelukan dengan hangat. Eliza segera mengajak Amira untuk duduk di sofa, tak lupa ia mempersiapkan cemilan dan juga minuman untuk menunjang acara mengobrol mereka supaya semakin khusyu.
"Maaf, ya. Aku kemarin nggak datang ke acara pernikahan kamu." Amira mengucapkan dengan nada penuh penyesalan.
"Iya, nih. Jahat banget kamu. Padahal sahabat aku yang diundang cuma kamu aja. Eh, malah nggak datang." Eliza pura-pura ngambek.
Amira benar-benar percaya kalau Eliza sedang marah. "Beneran, aku minta maaf. Aku kan sudah ngasih tau alasannya, adik aku wisuda."
Eliza tersenyum sambil mengangguk. "Iya, nggak papa. Aku ngerti."
"Syukurlah. Tapi kamu jangan balas dendam, ya, El. Kamu harus datang di acara pernikahan aku bulan depan."
"Loh, kamu mau nikah juga? Alhamdulillah, nggak nyangka akhirnya kita berhasil menemukan jodoh masing-masing. Perasaan baru kemarin kita mondok berdua."
"Yah, namanya juga jodoh, El. Nggak tau kapan dan dimana datangnya."
Eliza melihat ekspresi Amira yang lesu, tidak bersinar seperti aura calon pengantin pada umumnya.
"Kok mukamu lesu? Kenapa?"
"Ya sama seperti kamu, aku juga korban perjodohan, El." Amira menjawab dengan lirih.
"Makanya, kamu sih dulu suka ngeledek aku, Siti Nurbaya. Kan kejadian juga sama kamu hehe ... tapi tenang aja, Mir. Menikah karena perjodohan itu nggak seburuk yang kamu kira kok. Buktinya aku, alhamdulillah sekarang aku udah bahagia."