"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok." Eliza menolak, saat Steven menawarkan tumpangan.
"Aku antar aja, ya. Takutnya kamu pingsan di jalan, kayak tadi." Steven bersikeras mengantar Eliza pulang, pria itu mengambil tas Eliza dan memakainya di lengan.
"Beneran nggak usah, Mas." Eliza berusaha merebut kembali tasnya.
"Jangan bandel! Kalau kamu begini terus, bisa-bisa aku digebukin massa, dikira tukang jambret."
Akhirnya, dengan terpaksa, Eliza bersedia diantar pulang oleh Steven.
***
Steven hanya mengantarkan Eliza sampai di depan lobby apartemen, setelah itu pria itu pamit balik ke kantor.Satu hal yang tidak diketahui Eliza, rupanya Kiera memperhatikan semuanya. Gadis itu tersenyum licik, sambil memotret kejadian itu. Buat apa lagi, kalau bukan untuk diadukan kepada Revan.
"Lho, kamu kesini, Ki? Kenapa nggak langsung masuk aja?" sapa Eliza ramah.
"Password-nya udah diganti sama Kak Revan." Kiera menjawab singkat.
Eliza menepuk dahinya."Oh, iya. Aku lupa ngasih tau. Ya udah, sekarang kita masuk, yuk."
"Nggak usah, lain kali aja." Kiera berlalu dari hadapan Eliza. Membuat Eliza kebingungan.
Di kantor, Revan merenung seorang diri. Hatinya galau setelah mendapat pesan gambar dari Kiera.
"Pasti Eliza udah sering ngajak kak Steven ke apartemen, waktu Kakak lagi kerja."
"Nggak mungkin, Ki."
"Mungkin aja. Kak Steven kan orang lapangan, bisalah nyuri waktu barang sejam, dua jam, buat selingkuh.*
"Nggak usah bicara ngawur, Ki!"
"Terserah Kakak saja, mau percaya apa nggak, yang penting aku udah ngasih tau."
Kebetulan, Steven yang ingin menyerahkan laporan, masuk ke ruangan Revan.
"Lagi mikir apa, Bro? Serius banget? Sampai gue ketuk pintu nggak dengar?"
Revan melirik sebentar ke arah Steven, kemudian menerima map dari Steven, setelah memeriksa sebentar, kemudian menandatangani, Revan mengembalikannya lagi kepada Steven.
"Seharian ini kemana aja?" tanya Revan dingin.
"Tumben lo posesif gini? Kenapa tuh?" Steven malah mengajak Revan bercanda. Tapi sayangnya Revan tidak tertawa, pria itu berada dalam mode super serius.
"Gue atasan, gue perlu tau. Gue nggak suka pegawai gue kelayapan di jam kerja." Revan berkata datar.
"Kelayapan gimana? Gue seharian mondar-mandir nengok proyek, tuh ada si Jason, ketiban bata pas lagi ngawasin proyek, untung pakai helm safety, kalau enggak, bocor tuh kepala. Gue tadi nengok dia di rumah sakit. Untung nggak papa, cuma lecet dikit." Steven bercerita panjang lebar.
"Terus gue ketemu ...." Steven hampir saja membocorkan rahasianya.
"Ketemu siapa?" tanya Revan curiga.
"Ketemu ... dokternya. Gue tanya, itu kepala si Jason perlu diamputasi apa nggak." Steven sengaja melawak untuk mengalihkan pembicaraan.
"Habis itu kemana lagi?" kejar Revan.
"Sumpah, gue jadi takut, kalau lo jadi posesif gini. Gue bukan pacar lo, Bro." Steven tersenyum geli.
"Jawab aja kenapa, sih? Gue atasan! Gue tanya, lo jawab."
"Iya-iya, yang mulia. Abis dari rumah sakit, gue langsung balik kantor. Laporan selesai."
Revan memandang Steven lama. Membuat Steven salah tingkah. "Jangan gitu, Bro. Beneran gue takut ini."
Revan berkata datar. "Gue kira selama ini kita teman."
***
Setelah berbicara dengan Steven, Revan kemudian menelpon Eliza. Tapi kemudian ia matikan panggilan, sebelum Eliza belum sempat mengangkatnya.
"Assalamualaikum. Mas, tadi nelpon kenapa?" Eliza balik menghubungi Revan.
"Nggak papa, cuma tertekan."
"Kalau kamu ada masalah ... cerita, Mas." Eliza berkata dengan khawatir.
"Nggak papa, El. Tadi cuma tertekan."
"Lah iya, kamu tertekannya kenapa?"
"Cuma tertekan, El. Layarnya."
"Oh, aku kira kenapa." Terdengar helaan nafas lega dari Eliza.
"Tadi kamu ke mana?"
Jeda waktu cukup lama, Eliza tidak segera menjawab pertanyaan Revan. Membuat hati Revan semakin gundah.
"Nggak kemana-mana, Mas."
Revan langsung lemas setalah mendengar jawaban istrinya.
Kenapa mereka berdua bohong? Jangan-jangan, benar apa yang dikatakan Kiera? batin Revan.
"Oh, ya, Mas. Tadi Kiera datang. Tapi, waktu aku suruh masuk, dia langsung pulang. Aneh."
Revan diam, seolah tidak mendengar cerita Eliza.
"Mas, kamu masih di situ?" Eliza memanggil Revan karena pria itu diam cukup lama.
"El, nanti malam aku nggak pulang."
***