"Kenapa muka lo suntuk banget? Berantem sama laki lo?" Ceisya bertanya kepada Kiera, saat mereka makan di kedai bakso aci langganan mereka.
"Kalau berantem, sih ... tiap hari gue."
"Ya udah, sih. Namanya hidup berumah tangga. Dikasih nikmat, ya nikmatin. Dikasih cobaan, ya cobain." Ceisya malah menasihati Kiera, seolah ia lebih paham tentang lika-liku hidup berumah tangga.
"Yang penting jangan cerai. Gue nggak mau temenan sama janda pirang."
"Sialan lo!" Kiera melempar segumpal tisu ke muka Ceisya.
"Sya, lo masih kerja di konter hape abang lo?" Kiera tiba-tiba bertanya.
"Masih. Walau gue udah bosen kerja di sana, tetep gue jalani. Nyari kerja sekarang susah tau. Tadinya gue niatnya kerja di sana buat batu loncatan aja. Eh, malah keterusan jadi batu pondasi." Ceisya malah curhat.
"Masih ada lowongan nggak?"
"Buat siapa?"
"Buat gue."
"Hah? Nggak salah. Kerja di abang gue mah, gajinya dikit. Mentang-mentang gue keluarga, dibayar seiklasnya aja. Sebulan cuma dua juta doang. Tinggal di Bekasi, tapi UMR pakai Magetan. Eksploitasi buruh ini namanya. Saking iritnya, pagi gue cuma minum Energen, siang minum Okky Jelly, malemnya minum promag." Ceisya nyerocos panjang lebar.
"Gue mau."
"Lah, kan bang Revan juga punya kantor. Kenapa lo nggak kerja di sana aja. Kan enak ngumpul sama laki lo. Ntar kalau jam istirahat bisa nyuri waktu mesra-mesraan ... kayak di novel-novel."
"Mulut lo! Kurang-kurangin baca novel porno, Sya!" Kiera menjitak kepala Ceisya.
"Lagian lo aneh. Nggak bersyukur amat. Udah punya suami yang kerja banting tulang nyari duit buat lo, eh malah lo mau nyari duit sendiri." Ceisya berkata sambil mengelus kepalanya.
"Gue bosen di rumah."
"Makanya beranak! Biar ada yang lo urus." Ceisya gantian menoyor kepala Kiera. Memang sepintas dilihat hubungan pertemanan kedua orang itu sangatlah bar-bar, penuh dengan adegan kekerasan.
"Gue nggak bakat ngurus begituan. Apa aja yang gue pegang mati. Pernah gue beli bunga, seminggu gue rawat, eh itu bunga malah modar. Mungkin udah bosen idup." Kiera teringat tanaman janda bolong yang ia ambil dari rumah neneknya.
"Ya udah, ntar gue tanya abang gue." Ceisya memutuskan untuk membantu Kiera.
"Kalau bisa cepet, soalnya gue nggak tahan di rumah."
"Kenapa, sih? Rumah lo ada hantunya?" tanya Ceisya penasaran.
"Lebih serem."
"Hah? Seriusan? Kayaknya perlu dipanggilin pak Danu deh. Biar di doain rumah lo."
"Di rumah gue ada hantu ... Nenek Kabayan." Kiera berbisik.
"Kurang ajar! Padahal gue udah serius."
"Beneran. Nenek gue jauh-jauh pulang dari Arab, sekarang nginep di rumah gue. Nggak akan balik sebelum gue bunting."
"Rasain lo."
"Sahabat kampret!"
"Lagian nenek lo, minta cucu dadakan amat, kayak Roro Jonggrang."
"Makanya ... gue jadi pusing di rumah. Mana gigi gue lagi sakit. Goyang, mau copot." Kiera mengelus pipinya. Dari kemarin memang terasa nyeri, karena nenek tak henti mengomel saat melihat wajahnya.
"Sawer lah."
"Gigi gue beneran sakit, pea!"
"Terus kenapa lo malah makan bakso aci? Ntar gigi lo pada berguguran loh."
"Emang itu tujuan gue. Mau nyabut gigi ke dentist males antrinya. Sebelum kesini udah minum oskadon, sih." Kiera bercerita sambil mengelus pipinya yang agak chubby karena gusinya bengkak.
"Kalau lo ompong, bakal nggak cantik lagi. Gusi lo jadi ada ventilasinya. Kalau laki lo berpaling ke lain hati, gimana?"
"Pasrah gue mah. Dicere juga ikhlas. Asal dikasih harta gono-gini aja. Rencananya gue mau balikan sama mantan gue aja."
"Siapa?"
"Si Putra. Kemarin gue lihat di IG makin keren aja dia."
"Hah? Putra yang sekarang jadi bandar Narkoba?" Ceisya kaget karena Kiera berniat jadi kekasih badar narkoba.
"Narkoba kan cuma dagangannya. Motto gue, jauhi Narkoba, dekati bandarnya."
Karena keasyikan mengobrol, kedua perempuan itu tidak menyadari kalau Steven sudah berdiri di dekat mereka.
Padahal sedari tadi Steven sudah mencoba menghubungi Kiera, tapi diabaikan. Tadi dia kesini karena melacak keberadaan Kiera melalui aplikasi.
"Pulang kerja, Bang?" Ceisya menyapa duluan.
Steven hanya mengangguk, kemudian memeriksa arlojinya. "Kalau udah selesai makan, ayo pulang."
Sepanjang jalan, Kiera terus menggerutu karena merasa kurang lama mengobrol dengan Ceisya.
***
"Oh, jadi selera lo yang bandar Narkoba?" sindir Steven, tadi dia sempat mendengar percakapan Kiera dan Ceisya.
"Orang gue cuma bercanda." Kiera membela diri. Beruntung Steven sedang capek, jadi pria itu tidak memperpanjang masalah.
Di teras, Mutia sudah menunggu kedatangan kedua pasutri itu.
"Kok belum tidur, Nek?" sapa Steven sambil mencium tangan Mutia.
"Nggak bisa tidur. Ngomong-ngomong, kenapa kalian pulangnya malem banget?"
"Kami tadi habis nonton, Nek." Steven berbohong. Steven menggandeng tangan Kiera. "Kami masuk kamar dulu, Nek."
"Oh, iya silakan. Jangan lupa bikin cicit buat Nenek."
Kiera memutar mata mendengar ucapan Mutia. Tapi ia pasrah saja digandeng Steven sampai kamar.
"Capek banget pura-pura." Steven melepaskan tangan Kiera setelah menutup pintu.
"Siapa suruh kasih ijin nenek tinggal di rumah kita."
"Ya masa diusir, Ki. Sama orang tua mana boleh kurang ajar kayak gitu. Bisa kualat."
"Usir nenek dari kampung kita! Usir nenek dari kampung kita!" Kiera malah berteriak seperti orang demo.
Steven segera membungkam mulut Kiera dengan telapak tangannya. "Jangan keras-keras! Nanti nenek dengar!"
Sementara nenek menginap di rumahnya, selama itu pula Steven terpaksa tidur di kamar Kiera. Steven melihat penampakan kamar Kiera yang berantakan seperti pasar bongkar muat.
"Ini kenapa kamar bisa kayak gini? Jorok banget, sih?" Steven bergidik ngeri.
"Biasa aja kok. Gue nyaman-nyaman aja tidurnya. Nggak pernah mimpi buruk juga." Kiera menjawab santai.
"Buruan beresin, Ki. Apa perlu gue panggilan Pandawara?" perintah Steven.
"Bersihin aja sendiri! Ini bukannya gue yang jorok, lo aja yang OCD." Kiera malah pergi ke kamar mandi.
"Oke. Gue yang bersihin. Ini mana yang sampah mana yang bukan?" Steven bertanya kepada Kiera dari luar kamar mandi. Tak ada jawaban! Baiklah, Steven akan menganggap semua yang berserakan di atas kasur adalah sampah!
***
