87

603 39 14
                                    

Steven memandang takjub ke arah istrinya yang sedang memanjat pagar dengan lihai. Dari kecil Kiera memang ahli dalam memanjat. Apalagi pohon jambu tetangga. Cocok jadi pemeran di sinetron jaman dulu, monyet cantik. Sinetronnya Yuki Kato di SCTV.

"Ngapain masih di situ?" Kiera tidak sabar dengan sikap Steven yang lamban.

"Ini seriusan kita harus manjat gini, Ki?" Steven menengok kanan kiri, sepi.

"Iya. Kalau mau masuk, ya kudu manjat. Nggak mungkin terbang 'kan? Kalau nggak mau, ya udah, gue tinggal." Kiera melompat turun dengan cepat. Meninggalkan Steven yang kebingungan di balik pagar.

Tak seberapa lama, Steven menyusul Kiera yang sudah masuk ke observatorium terlebih dahulu. Steven menyusul Kiera naik ke tangga.

"Ini mau kemana lagi?"

"Ke atas lah. Namanya juga naik tangga!" Kiera menjawab ketus.

"Tadi kamu masuknya gimana?" tanya Steven keheranan.

"Gue korek-korek gemboknya. Pakai jepit rambut."

Steven menggeleng pelan. "Kriminal."

Akhirnya mereka sampai juga di atas gedung observatorium. Kiera mengambil duduk di lantai, dekat jendela. Steven mengikuti duduk di sampingnya.

Kiera memperhatikan cara jalan Steven yang agak aneh.

"Kebelet pipis?"

"Celana gue sobek. Pas manjat pager tadi."

Kiera tertawa terbahak-bahak. Membuat Steven kesal. Celananya sobek kan gara-gara Kiera juga. Tiba-tiba terlintas ide jahil di kepala Steven.

"Gue buka aja sekalian celananya." Steven bersiap melepaskan gesper.

"Pakai lagi. Atau gue lempar ke bawah. Dikira gue suka lihat isi celana lo?" Kiera memperingatkan dengan keras.

"Ini semua gara-gara lo. Celana kesayangan gue jadi sobek."

"Udah nggak papa. Itung-itung sebagai ventilasi."

"Ventilasi kepala otak kau!" Steven kesal hingga keluar logat Sumateranya.

Kiera mulai membuka kantung kresek. Perutnya mulai lapar lagi. Waktunya ngemil. Kiera ngambil sebungkus roti Aoka. (Kagak diendorse, ya)

Steven mengikuti Kiera, mengambil sebuah cemilan momogi yang dibelinya di warung. (Ini juga kagak diendorse)

"Serius, kita bakal nginep di sini, Ki?" Steven memastikan lagi.

Kiera tak menjawab, fokus dengan roti di tangannya. Bagian pinggirnya yang coklat di buang, diberikan ke Steven.

"Makan. Daripada mubasir. Gue suka tengahnya aja."

Kedua orang itu terdiam. Hanya terdengar suara nafas mereka.

"Daripada bengong. Mending main tebak-tebakan." Steven membuka percakapan.

"Jangan deh. Gue lagi males mikir."

"Kalau ada orang beli jeruk lima belas ribu, uangnya tiga puluh ribu. Berapa kembaliannya?" Steven ngeyel ingin main tebak-tebakan.

"Ngapain mikir kembaliannya? Kan bisa pakai QRIS?" Kiera menjawab malas.

"Ini yang beli nenek-nenek. Nggak ngerti aplikasi."

"Ya udah. Lima ribu."

"Kok bisa?"

"Orangnya bayar pakai uang dua puluh ribuan. Nggak mungkin uang tiga puluh ribu dikasih semua ke yang jual. Ntar dikira sok kaya. Btw tebakan lo ini nyontek di acara Siap Pak 'kan?"

"Nggak asyik lo, Ki." Steven jadi tidak mood melanjutkan tebak-tebakan lagi.

"Dulu, gue sering ke sini. Kalau lagi sedih." Kiera tiba-tiba bercerita.

"Gue nggak nanya lho, Ki."

"Gue cerita, pea!"

Kedua orang itu diam lagi. Kiera jadi bad mood, gara-gara digoda Steven.

"Lo sedih kenapa memangnya? Gue nggak nyangka, orang kayak lo bisa sedih juga." Steven akhirnya bertanya.

"Gara-gara dimarahin nenek. Dimarah-marahin Kak Revan juga. Kalau lagi sedih ingat papa. Jadinya ke sini. Katanya, orang yang udah mati, jadi bintang. Makanya gue suka liat bintang di sini."

"Itu kalau orangnya baik. Kalau orangnya jahat palingan jadi meteor," sahut Steven.

"Dahlah. Males cerita sama lo." Kiera memalingkan muka membelakangi Steven.

"Dih, gitu aja ngambek. Lo kenapa, sih? Datang bulan?" Steven membalikkan badan Keira agar menghadapnya.

Tiba-tiba Kiera menangis terisak-isak. Membuat Steven panik.

"Dih, kenapa lo? Orang nggak gue jitak?"

"Gue kangen papa. Dulu, kalau masih ada papa, nggak ada yang berani marahin gue. Sekarang, dikit-dikit gue dimarahin." Kiera menangis tersedu-sedu.

"Ya lo sih, bandel. Kenapa, sih? Sejak Om meninggal, lo jadi gitu? Caper?"

Kiera menggeleng. "Gue cuma sedih aja. Berasa nggak punya siapa-siapa yang melindungi gue dari nenek dan Kak Revan. Mama juga kabur nggak tau kemana. Gue ngerasa sendiri."

Steven menghela nafas mendengar cerita Kiera. Kini ia mengerti, sepertinya Kiera haus kasih sayang. Padahal nenek dan Revan marah karena ada alasannya, demi kebaikan Kiera juga. Kiera terbiasa bertingkah seenaknya karena terbiasa dimanja oleh mendiang papanya.

"Siapa bilang lo sendiri? Kan lo sekarang udah punya suami, yang gagah dan ganteng kayak pacarnya berbi, Ken."

"Ken Arok!" Kiera mencibir.

"Sini gue peluk. Biar lo nggak sedih lagi. Sekali-kali lo boleh merasakan dada gue yang bidang ini." Steven membuka tangan.

Tanpa disangka Kiera segera melemparkan diri ke pelukan Steven. Dan menangis tersedu-sedu. Kiera amat merindukan sosok papanya. Sejak papanya meninggal, Kiera merasa semua orang jadi kejam padanya. Terutama nenek dan Revan.

"Huhu ... papa ...."

"Gue bukan papa lo, Ki. Masa iya gue setua itu?"

"Kangen sama papa ...." Kiera mempererat pelukannya. Membuat Steven kehabisan nafas. Bagaikan dibelit ular piton.

"Lep ... lepasin, Ki ....." Steven berusaha melepaskan diri.

Tiba-tiba cahaya dari lampu sorot sebuah senter menerangi wajah mereka berdua.

"Kalian sedang apa di sini? Dasar kalian, ya! Mesum nggak modal. Sewa Oyo 'kan bisa!"

Kiera dan Steven menoleh, tampak seorang satpam tua sedang menatap marah ke arah mereka. Steven panik dan buru-buru merapikan pakaiannya yang kusut.

"Pak, kami bisa jelaskan."

***

Tangkep aja mereka, Pak. Usir mereka dari kampung kita! Usir mereka dari kampung kita! 🤣

Siapa yang udah pernah ke Boscha?


Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang