Steven tergopoh-gopoh datang ke rumah nenek Mutia, setelah wanita tua itu menghubunginya. Katanya ada hal penting yang harus disampaikan, yang membuat Steven panik adalah suara nenek Mutia yang seperti sedang menangis.
"Ini kenapa lagi? Pasti ulah si Kiera lagi. Anak itu kalau nggak bikin masalah sehari apa nggak bisa?" Steven menggerutu sambil menekan klakson mobilnya, kesal karena didepannya ada mobil yang menghalangi.
"Itu yang punya mobil buta warna apa gimana, sih? Udah ijo masih nggak mau jalan juga!" Dengan kesal Steven turun dari mobilnya dan menggedor kaca mobil itu.
"Bangun, Pak. Udah ijo tuh! Bapak menghalangi jalan saya, tau."
"Mobil saya mogok. Kalau mau bantu dorong ya ayo. Kalau nggak mau, ya diem. Terbang aja, terbang!" Si pengemudi malah lebih ngegas dari Steven.
Karena sedang buru-buru, Steven memutuskan berbalik, tak mau memperpanjang masalah.
"Nyolot amat itu orang! Gue sumpahin bannya lepas semua, terus ngegelinding sendiri, kayak di film Dono."
Setelah sampai di rumah nenek Mutia, Steven segera disambut dengan raut wajah sedih.
"Nenek Kenapa?" tanya Steven khawatir.
"Kiera mau pergi." Mutia menjawab sedih. "Ikut mamanya ke Belanda."
"Bagus, dong. Nggak ada lagi yang ngerecokin nenek." Steven menjawab santai.
"Nenek khawatir ...."
"Kan perginya sama mamanya, Nek."
"Itulah yang bikin nenek khawatir. Mamanya Kiera itu ... hidupnya acak-acakan. Di luar negeri, nggak tau kegiatannya apa aja. Suka gonta-ganti laki-laki. Nenek takut Kiera diajarin kayak gitu juga."
Steven hanya diam, tak tau harus menanggapi apa. Walau sejak kecil akrab dengan keluarga Revan, tapi tetap saja ia sungkan kalau terlalu ikut campur.
"Terus Revan bilang apa, Nek?"
"Katanya biar aja kalau Kiera mau ikut. Nenek nggak boleh cegah."
"Ya udah sih, Nek."
"Nenek nggak bisa cuek sama masa depannya Kiera. Biarpun dari luar Nenek terkesan galak dan memusuhi dia, tapi semua itu Nenek lakukan demi kebaikan dia. Kamu ngerti 'kan?"
"Saya paham, Nek. Tapi masalahnya, apa yang terbaik menurut Nenek, belum tentu itu yang Kiera inginkan."
"Kamu sama saja dengan Revan!" Mutia malah ngambek. Membuat Steven garuk-garuk kepala.
"Terus saya harus apa, Nek? Apa yang bisa saya bantu?"
Ekspresi Mutia berubah jadi sumringah mendengar pertanyaan Steven. "Benar, kamu mau bantu Nenek?"
"Jangan susah tapi ...." Steven menyanggupi.
"Nggak susah. Kamu hanya perlu menikahi Kiera."
Steven menghela nafas berat mendengar permintaan Mutia.
"Yang lain bisa nggak, Nek?"
"Ya udah, kalau kamu nggak mau, mulai sekarang Nenek mau mogok makan!" ancam Mutia.
"Jangan dong, Nek. Kan Nenek masih harus minum obat?"
"Bukan urusan kamu! Kan kamu nggak peduli sama Nenek. Mau sakit kek, mati kek!"
"Ya Allah, Nenek bicara apa, sih? Nggak baik kayak gitu, Nek. Nggak boleh ancam-ancam saya kayak gitu." Steven memijat pundak nenek Mutia.
"Udah. Sana pulang! Nggak usah sok baik sama Nenek!"
Steven memijat pelipisnya, pusing menghadapi tingkah nenek Mutia yang seperti anak kecil minta Kinderjoy.
"Gini ya, Nek ... kalaupun saya mau menikahi Kiera, belum tentu Kieranya mau sama saya ...."
"Dia pasti mau kok!"
"Kata siapa?"
"Janji, ya! Kalau Nenek berhasil membujuk Kiera, kamu harus segera melamar Kiera secara resmi."
"Nggak gitu, Nek ... tadi itu cuma perumpamaan aja, saya cuma nanya kok ...." Steven buru-buru meralat ucapannya.
Mutia meninggalkan Steven dan masuk ke kamar Kiera. Tampak gadis itu sedang berkemas, memasukkan barang-barangnya ke koper.
"Kiera. Nenek mau bicara."
"Kalau Nenek mau cegah aku untuk pergi, lebih baik nggak usah. Keputusan aku sudah bulat, Nek."
"Kamu yakin, hidupmu akan bahagia kalau ikut dengan mamamu? Seperti kamu lihat, hidup mamamu saja masih luntang-lantung tidak jelas."
"Nenek tidak perlu khawatir. Aku sudah dewasa. Lagian mama nggak mungkin menelantarkan aku."
"Benarkah? Terus kenapa mamamu pergi sendiri selama bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak dibawa sekalian? Malah ditinggal di rumah ini. Apa seperti itu yang dikatakan ibu yang bertanggung jawab?" Mutia mencibir.
Kiera mulai ragu, ia menghentikan kegiatannya mengemas barang.
"Jangan bodoh, Kiera. Nenek punya penawaran yang lebih bagus ...."
***
Setelah sepuluh menit, Mutia keluar dari kamar Kiera. Wajahnya tampak sumringah, membuat Steven was-was.
"Nenek kenapa? Kok kayak bahagia banget? Tadi aja masih sedih? Nenek dapat voucher gratis ongkir dari Shopi? Atau Nenek sebenarnya bipolar?"
Mutia tidak menjawab pertanyaan Steven yang beruntun, wanita itu hanya tersenyum samar.
"Nenek sudah berhasil meyakinkan Kiera. Minggu depan bawa orang tuamu untuk melamar, agar bulan depan kalian bisa menikah."
Lutut Steven langsung lemas seketika. "Ta-tapi, Nek ...."
***
Halah, nggak usah nolak-nolak, Stev. Percaya aja sama nenek 🤭