22

1.8K 107 0
                                    

"Kamu nggak lagi bercanda kan, Van?" Grace kaget mendengar penuturan Revan.

Revan hanya diam, sekarang pikirannya sedang kusut. Memikirkan kemungkinan apa yang terjadi setelah rahasianya terbongkar. Apalagi kalau sampai neneknya tau tentang perbuatannya kepada Eliza.

"Jawab, Van!" Grace berteriak marah.

"Pulanglah, Grace. Nanti kita bicara lagi." Revan mengusir Grace secara halus.

"Jadi selama ini kamu bohong sama aku?" Grace tidak terima.

"Aku nggak bermaksud melakukannya. Maaf kalau kamu marah."

Grace tiba-tiba mendekati Revan, kemudian menyentuh rahangnya. "Kamu melakukan ini karena aku kan? Karena kamu putus asa setelah kita putus."

"Grace, aku ...."

"It's okay. Aku bisa ngerti kok. Ini semua juga salah aku. Nggak seharusnya aku seenaknya mutusin kamu kemarin. Aku nggak masalah dengan status kamu."

Revan kaget mendengar ucapan Grace, ia tidak menyangka wanita itu bisa memaafkannya secepat ini.

"Aku tau, kamu terpaksa menikahi wanita itu. Pasti kamu sudah menyiapkan rencana untuk menceraikannya bukan? Aku akan menunggu, sampai saat itu tiba ... Aku masih sayang sama kamu, Van. Aku yakin kita masih punya harapan."

"Begitu menurut kamu?"

Grace mengangguk dengan yakin. "Tentu saja."

Revan tidak tau harus berbuat apa. Ia membiarkan saja kepala Grace yang bersandar di lengannya.

"Kamu tenang saja. Aku akan menyakinkan papa supaya mau bekerjasama dengan perusahaanmu."

Di saat yang tidak terduga, Mutia datang. Wanita tua itu masuk begitu saja karena telah memiliki kartu akses apartemen Revan.

Betapa kagetnya wanita tua itu saat melihat Revan sedang bermesraan dengan wanita lain. Revan kaget melihat kedatangan neneknya, begitu juga Grace.

"Revan! Apa-apaan kamu?" Mutia bertanya dengan marah.

"Nenek? Kenapa tiba-tiba datang?" Revan bertanya dengan panik. Ia menjauhkan tubuhnya dari Grace.

Mutia melirik sekilas ke arah Grace. "Siapa wanita ini?"

"Nek, dia ...." Belum sempat Revan menjelaskan, Mutia sudah memotong ucapannya.

"Suruh dia pulang!"

Grace mengerti kalau kehadirannya di apartemen Revan tidak diharapkan. Dengan ekspresi datar wanita itu mengambil tasnya di meja dan bersiap pergi. Tanpa berpamitan sama sekali kepada Mutia.

"Aku pergi, Van." Dengan santainya Grace mencium pipi Revan di depan Mutia, membuat wanita tua itu melotot geram.

Setelah kepergian Grace, Mutia segera memukuli Revan dengan tas yang dibawanya. Revan yang baru saja sembuh dari luka operasi, merasa kesakitan.

"Hentikan, Nek. Sakit." Revan mengaduh.

"Dasar, anak kurang ajar. Begini kelakuan kamu, hah?" Mutia menjewer telinga Revan dengan keras.

"Kenapa Nenek datang kesini? Apa Eliza yang memanggil?" Revan mengusap telinganya yang terasa panas.

"Nenek datang sendiri, nggak ada yang manggil. Ngomong-ngomong dimana istri kamu sekarang?" Mutia berjalan berkeliling, memeriksa ruangan di apartemen Revan.

"Dia pergi, Nek."

"Bagus. Istri keluar rumah, kamu malah enak-enak selingkuh dengan wanita jalang. Pergi kemana istrimu?"

"Nggak tau, Nek. Paling pulang ke rumah lamanya." Revan menjawab tidak yakin.

"Jadi dia sudah tau kelakuan kamu? Tapi dia diam saja?" Mutia merasa kecewa dengan Eliza yang menyembunyikan kebusukan Revan dari Mutia.

"Ini semua salah paham, Nek. Revan dan Grace nggak ada hubungan apa-apa kok." Revan menjelaskan kepada neneknya.

"Kamu pikir mata nenek buta? Jelas-jelas nenek lihat wanita itu menempel sama kamu? Kamu jujur saja, Van! Sebelum Nenek datang, kalian sudah ngapain aja? Nggak mungkin kalian berdua di apartemen cuma haha hihi aja!" Mutia berkata dengan emosi yang meluap-luap. Membuat Revan khawatir dengan kondisi jantung neneknya.

"Sabar, Nek. Slay. Ini semua nggak seperti yang Nenek bayangkan. Biar bejat begini, Revan masih punya batasan kok." Revan membela diri.

Mutia memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut. "Aduh, pusing."

Mutia berjalan ke sofa, Revan dengan sigap mengambilkan air putih untuk neneknya.

"Nek, Nenek nggak papa?" Dengan khawatir Revan memijit lutut neneknya.

"Kamu sengaja kan?"

"Sengaja apa, Nek?"

"Sengaja melakukan semua ini untuk membunuh Nenek."

"Eh, enggak, Nek." Revan buru-buru mengambil tangan Mutia dan menggenggamnya erat, seolah takut kehilangan.

"Kamu dan papamu sama saja, Van. Nggak pinter milih perempuan." Mutia mendesah dengan kecewa.

"Maafin Revan, Nek." Revan berkata dengan nada penuh penyesalan.

"Panggil istrimu. Suruh dia datang kemari. Nenek ingin bicara dengan kalian berdua."

***

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang