"Jangan gila lo, Van. Istri lagi hamil malah mau dipoligami." Steven mengecam keras.
"Siapa juga yang mau poligami? Langsung gue tolak kok. Ngapain juga gue koleksi istri banyak-banyak. Satu aja nggak abis-abis." Revan dengan kesal meminum kopinya. Tersinggung karena dituduh sembarangan.
"Aduh, panas!" Revan mengusap bibirnya.
"Tuh kualat!" Steven menertawakan Revan yang kepanasan.
"Teman pea! Liat orang kesusahan malah diketawain. Benar-benar lo, ya. Sahabat yang halal untuk disembelih." Revan melempar tisu ke arah Steven.
"Benaran, Van? Lo nggak ada kepikiran buat poligami? Kan lumayan, punya istri dua. Kalau bisa dua, kenapa harus satu?" Steven sengaja mengetes Revan.
"Nggak usah mancing! Kalau gue iyain aja, buru-buru lo ngadu sama Eliza. Seneng, liat rumah tangga orang berantakan?" Revan menjawab kesal. Ia tau ini pasti cuma jebakan Steven.
"Gue juga heran, buat apa coba orang pakai poligami segala? Bikin ribet aja. Dikira nafkahin istri dua nggak butuh uang banyak apa?" Steven berujar lagi.
"Itu karena lo masih miskin," cibir Revan. "Udah, gue panggil lo kesini mau ngomong penting."
"Apa tuh?"
"Sebentar lagi gue mau ke Papua ...."
"Tenang aja. Gue akan jaga istri lo baik-baik." Steven memotong cepat. "Aman sama gue."
Revan berdecak sebal dengan kepercayaan diri Steven. "Siapa juga yang tenang kalau istri dititip sama lo? Malah yang ada lo cemilin."
"Cemilin apa, sih, Van? Dikira istri lo basreng? Ini gue tulus mau bantu lo." Steven berkilah. "Siapa tau Eliza butuh diantar periksa kandungan."
"Naik Grab bisa!"
"Ya, kali aja Eliza butuh dibeliin makanan, kan biasanya orang hamil suka ngidam tuh," kata Steven lagi.
"Grab food solusinya!" tukas Revan.
"Dih, malah ngendorse lo!" Steven terkekeh melihat ekspresi Revan yang sedang cemburu.
"Kok gue semakin nggak tenang ya, tinggalin istri gue sendirian, takutnya disatronin kalong yang durhaka." Revan menatap Steven tajam.
"Apa itu gue? Ya nggak lah, Van. Mana mungkin gue tega ganggu istri teman sendiri." Steven menepuk bahu Revan. "Kan masih ada istri orang lain hehe ...."
Revan mengelap pundaknya yang baru saja ditepuk Steven, seolah sangat jijik.
"Gue mau bicara penting, masalah kerjaan."
Steven langsung menghentikan tawanya. Kalau untuk urusan pekerjaan, dia memang selalu profesional.
"Tolong, selama gue tinggal, lo awasi gerak-gerik Pak Chandra." Revan berkata dengan raut wajah serius.
"Chandra yang mana? Chandra banyak di perusahaan kita, ada empat orang," potong Steven.
"Chandra HRD. Gue dengar dari desas-desus, dia sering ngajak karyawati staycation, sebagai syarat perpanjangan kontrak."
"Njir, yang bener lo? Gue nggak nyangka. Dari luar, bapak tua itu kelihatan fine-fine aja, pendiam juga. Kayak Limbad." Steven terbengong-bengong mendengar cerita Revan.
"Limbad juga diam-diam istrinya dua, pea!" sahut Revan.
"Ini nggak bisa dibiarkan, kalau sampai tersebar keluar, bisa mencemarkan nama perusahaan kita. Kenapa nggak langsung di- kick out aja itu si bandot tua?" Steven tampak geram.
"Itulah masalahnya. Gue masih belum punya bukti kuat. Lagipula dia dulu termasuk orang kepercayaan papa. Gue nggak bisa pecat sembarangan." Revan juga tampak geram dengan ulah berondong tua yang satu itu.
"Terus gue harus apa?"
"Tolong lo awasi dia. Cari bukti sebanyak-banyaknya. Hubungi para korbannya. Tanyain satu-satu. Kabar terakhir, korbannya si Vivi resepsionis."
"Sialan, itu inceran gue!" Steven berteriak marah.
Vivi adalah karyawati yang baru bekerja selama enam bulan di bagian resepsionis, parasnya cantik, bodinya mantap, ditambah pembawaannya yang ramah, dia sukses menjadi incaran pegawai pria baik yang lajang, maupun yang sudah beristri. Termasuk Steven.
Ini menjadi PR bagi Revan, meresahkan juga kalau punya karyawati pemersatu bangsa. Lain kali ia akan mencari karyawati yang sudah tua saja. Kalau perlu yang jelek. Supaya tidak menggangu fokus kerja para pegawai pria, juga untuk menghindari skandal-skandal murahan.
"Loh, sih, kurang gercep. Katanya si Vivi udah beberapa kali dibawa ke villa Puncak. Lo tau kan mereka ngapain aja, nggak mungkin kalau cuma beli jagung terus pulang. Pasti udah di-unboxing." Revan berkata dengan yakin.
"Vivi-Vivi, kenapa coba, lo nggak ngerayu gue aja? Pasti gue bantu ACC. Daripada lo dicicip sama si bapak tua itu, elah mubasir amat." Steven bicara sendiri, seolah di depannya ada Vivi.
"Berani lo bikin kayak si Chandra, gue depak lo dari perusahan gue. Perusahaan tempat nyari nafkah, bukan buat mesum. Bikin sial aja. Sebelum gue bangkrut beneran, mending lo gue buang duluan." Revan memperingatkan Steven dengan keras.
"Baiklah, Tapasya." Steven hanya bisa mengangguk dengan pasrah.
"Setelah lo dapat bukti, pecat dua-duanya!"
"Kenapa harus dua-duanya? Lakinya aja, nggak usah si Vivi." Steven berusaha menawar.
"Steve! Apa lo mau nemenin si Vivi? Ngambil pesangon?"
***
