Eliza memutuskan untuk pulang ke rumahnya saja. Enggan rasanya kembali ke apartemen Revan dalam keadaan kesal. Sekalian untuk membersihkan rumah peninggalan orang tuanya.
Rumah ini adalah satu-satunya harta peninggalan orang tua Eliza. Sebenarnya banyak harta yang ditinggalkan untuknya, tapi semua telah habis dijual oleh kakaknya sebagai modal judi online.
Eliza lelah mengingatkan kakaknya agar berhenti menghabiskan uang untuk berjudi. Tapi nasihatnya hanya dianggap angin lalu oleh kakaknya. Tentu saja Edo tidak mau repot-repot menuruti saran Eliza yang dianggapnya masih bocah ingusan.
Maklumlah, perbedaan usia mereka memang cukup jauh, sekitar sepuluh tahun. Tapi tetap saja usia dewasa tidak mempengaruhi pola pikir seseorang. Dikehidupan nyata, justru Eliza bersikap lebih dewasa ketimbang kakaknya.
Eliza memperhatikan rumah orang tuanya yang dalam keadaan tidak terurus. Rumput dan semak belukar tumbuh subur di halaman. Sepertinya Eliza perlu mengagendakan waktu khusus untuk membersihkannya secara berkala. Kalau tidak, bisa-bisa rumah ini hancur termakan usia.
'Sebaiknya jual saja rumah itu. Daripada dibiarkan kosong, malah jadi hunian hantu.'
Eliza mengabaikan bujukan kakaknya. Ia tau, Edo mengharapkan bagian atas hasil penjualan rumah itu.
Eliza sendiri heran, kenapa kakaknya itu terus saja bersikeras untuk menjual rumah peninggalan orang tua mereka. Padahal sebenarnya rumah itu adalah bagian milik Eliza. Ada juga sebidang tanah perkebunan, tapi sudah habis dijual Edo.
Edo sendiri, selain mendapatkan bagian ruko dan rumah di daerah perkotaan, juga mendapatkan sebidang tanah perkebunan juga. Memang secara agama bagian warisan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Tapi sayangnya, semua harta itu telah ludes di meja judi. Bukannya memanfaatkan harta peninggalan orang tuanya dengan sebaik mungkin, Edo malah menghamburkannya. Kini pria itu malah sibuk mengusik harta bagian Eliza.
Eliza ikhlas sebagian hartanya dijarah oleh Edo, tapi tidak untuk rumah ini. Eliza akan mempertahankannya mati-matian. Terlalu banyak kenangan di rumah ini, terutama kenangan bersama kedua orang tuanya.
Eliza mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Setelah berhasil masuk rumah, pemandangan yang ia saksikan pertama kali adalah keadaan ruangan yang berdebu, baunya juga pengap. Sepertinya tidak cukup satu hari untuk membersihkan seluruh rumah ini.
Eliza mulai membersihkan rumahnya, di mulai dari halaman, kemudian lantai atas. Setelah hari mulai gelap, Eliza memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya. Tinggal pekarangan dan dapur saja yang belum dibersihkan, Eliza akan melanjutkannya besok. Hari ini tubuhnya terasa sangat lelah.
Keesokan harinya, Eliza terbangun dalam keadaan linglung. Beberapa saat kemudian ia teringat mengapa ada di rumah orang tuanya.
Eliza berpikir untuk pergi ke rumah sakit, ingin menengok Revan. Tapi mengingat ucapan Revan kemarin, hati Eliza seketika sedih. Lagipula buat apa repot-repot ingin menengok pria itu? Pasti di sana sudah ada Grace yang menjaganya.
Eliza mengurungkan niatnya, ia memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya membersihkan rumah.
Ketika sedang asyik mencabut rumput di halaman rumahnya, ia disapa oleh seorang pria yang sedang lari pagi di depan rumahnya.
"Loh, mbak ada di sini?"
Eliza mendongak, menatap pria yang tersenyum menatapnya di balik pagar rumah. Eliza berusaha mengingat siapa gerangan pria muda ini.
"Saya temannya Revan, Mbak. Nama saya Steven." Melihat Eliza yang kebingungan, Steven pun menambahkan. "Yang waktu itu di rumah sakit itu loh."
Walaupun tidak berhasil mengingat, tapi Eliza berusaha untuk tersenyum. "Maaf tadi saya tidak mengenali anda."
"Oh, nggak papa, Mbak. Udah biasa itu. Emang muka saya pasaran kok hehe ...." Dengan luwes Steven masuk ke halaman.
"Mbak lagi ngapain?" tanya Steven lagi.
Eliza mengerutkan dahi, sudah jelas dia sedang mencabuti rumput, masih tanya juga.
"Ini salah satu rumahnya Revan ya, Mbak?" Steven mengamati rumah yang tergolong mewah di depannya. "Bagus juga rumahnya, ada kali lima miliar. Memang ya, orang kaya itu rumahnya ada di mana-mana. Beda sama kita-kita. Revan sih dari kecil udah kaya, dari bayi makannya disuap pakai sendok perak, nah kita? Pakai sendok mixue aja udah syukur hehe ...."
Eliza mulai jengah dengan sikap cerewet teman Revan yang satu ini.
"Ini rumah saya kok, Mas."
Steven mendadak tersedak mendengar ucapan Eliza. "Maksudnya, Mbak?" tanya Steven memastikan.
Eliza tidak peduli dengan wajah tidak percaya Steven, ia mulai tidak mood melanjutkan kegiatannya mencabuti rumput.
"Masnya nggak lanjut jogging?" Eliza mengusir Steven secara halus.
"Eh, iya, Mbak. Saya pamit dulu, ya." Steven merasa tidak enak karena sudah meragukan ucapan Eliza. Mungkin saja rumah ini memang benar-benar rumah milik Eliza. Mungkin gadis itu hanya sedang gabut saja saat memutuskan untuk menjadi asisten rumah tangga di rumah Revan.
Eliza mengangguk singkat, kemudian mengunci pagar, segera setelah Steven keluar. Steven masih belum berlalu dari depan pagar, pria itu masih syok mengamati rumah Eliza. Kemudian pria itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, bergegas menghubungi Revan.
"Bro, gue mau nanya."
"Nanya apa? Orang sakit masih lo tanya-tanya juga." Revan menjawab malas di seberang sana.
"Itu, siapa nama pembokat lo?"
"Ngapain tanya-tanya? Eliza namanya."
"Dia masih kerja sama lo?"
"Masih. Kenapa? Lo butuh pembokat juga? Cari aja di penyalur tenaga kerja. Bejibun noh."
"Nggak. Ini tadi gue baru ketemu dia."
"Lo ke apartemen gue? Kan gue masih ada di rumah sakit?" tanya Revan curiga.
"Gue ketemu dia di dekat komplek perumahan gue. Gue nggak nyangka, ternyata pembokat lo tetanggaan sama gue. Tajir juga pembokat lo, bisa punya rumah di daerah sini. Gue aja nyicil rumah di sini empot-empotan, mahal banget angsurannya ...."
Revan terdiam di seberang sana. Pria itu sibuk berpikir, untuk apa Eliza pulang ke rumahnya? Dari kemarin juga tidak bisa dihubungi.
"Bro, lo masih idup?" tanya Steven kesal karena Revan tak kunjung merespon ucapannya.
"Yakin, yang lo lihat itu pembokat gue? Jangan-jangan lo salah orang?" Revan memastikan.
"Awalnya gue juga nggak yakin, abis muka-muka pembokat 'kan sama semua. Tapi tadi gue udah nanya langsung ke dia kok."
"Ya udah. Makasih infonya."
"Tapi itu beneran rumah dia, Bro?"
"Iya, kenapa emang?"
"Besar juga lo gaji dia, ampe kebeli rumah segala."
"Itu warisan dari orang tuanya."
"Nah, bener dugaan gue. Pasti dia kerja di rumah lo karena gabut doang. Namanya juga nggak kayak nama pembokat yang di sinetron-sinetron, terlalu keren. Biasanya nama pembokat itu kalau nggak Inem, ya Darmi. Btw ortunya kaya juga, ya? Pejabat, ya?"
"Iya, mantan anggota dewan. DPR. Di bawah pohon rambutan."
"Boleh kali gue jadi mantunya hehe ...."
"Dia udah punya suami."
"Seriusan. Kok suaminya ngijinin dia kerja jadi pembokat di rumah lo, sih? Jangan-jangan lakinya pengangguran mokondo?"
"Enak aja lo!" Revan marah karena secara tidak langsung Steven telah mengatainya.
"Kan gue ngatain lakinya, kok lo yang sewot, sih?" Steven mulai curiga.
"Lakinya kerja. Di luar negeri. Di Saudi." Revan mulai mengarang cerita.
"Kerja apa?"
"Pasang ubin di Masjidil haram."
***
