"Malu-maluin aja lo, Ki. Pakai acara nginjek kue klepon segala, chill aja. Nggak usah grogi ketemu gue. Iya, ngerti, kalau lo terpesona. Gimana? Gue sekarang jadi glow-up 'kan? Hehe ...." Bramasta malah meledek Kiera yang sedang duduk di sampingnya. Disaat keluarga yang lain sibuk melakukan ritual adat untuk Eliza.
Kiera mengamati penampilan Bramasta yang memang cukup mengesankan. Badannya tinggi, putih, menjulang, seperti tugu pahlawan di Surabaya. Eh, atletis maksudnya. Tapi ada sayangnya, giginya diportal! Alias pake behel. Alisnya lebat, ciri-ciri cowok nafsuan. Tapi sorot matanya kalem, pakai kacamata juga. Seperti cowok-cowok pinter.
"Sebenarnya gue nggak suka sama cowok yang pakai behel."
"Lah, kenapa?"
"Gue juga pakai behel soalnya. Takutnya kalau kita ciuman, behel kita gancet. Kan nggak lucu." Kiera menjawab asal.
"Ngeres aja lo, Ki. Pingin banget ciuman sama gue? Makanya tadi grogi banget. Kue klepon deh yang jadi korbannya. Keinjek sama lo."
"Selamat, anda GR. Siapa juga yang grogi ketemu lo? Biasa aja 'tuh." Kiera mengelak dengan sengit.
"Serius? Buktinya lo dandan mati-matian buat menyambut kedatangan gue 'kan? Ngaku aja, Ki. Nggak usah malu."
"Ada, ya, orang kayak lo? Gue rasa pas pembagian jatah kepedean, lo antri paling depan. Jatah kepedean orang satu kabupaten lo borong semua. Asal lo tau ya, sebelum kedatangan lo, sehari-hari gue udah cantik dari sononya!"
"Tapi dulu lo lengket banget sama gue lho. Sering gue jajanin pentol puyuh sama permen kaki juga." Bramasta semakin senang mengganggu Kiera. "Dasarnya lo dari kecil udah matre hehe ... sukanya porotin gue."
"Iya, gue inget! Nggak usah diungkit-ungkit kalau nggak ikhlas. Lo juga pernah jajanin gue siomay ikan sapu-sapu. Besoknya gue kena tipes."
"Eh, yang itu lo masih inget juga? Nggak nyangka, artinya gue cukup berkesan buat lo, ya." Bramasta berkata dengan pedenya.
"Berkesan apaan? Gue masih kesel ya, pas kita main petak umpet di kebon singkong, waktu itu ada sosok putih, lo kabur duluan ninggalin gue. Lo kira pocong, ternyata cuma kresek. Bangsat emang."
(Menurut KBBI, bangsat adalah nama lain dari kepinding atau kutu busuk, nggak percaya Googling aja 🤣)
"Masih ingat aja lo." Bramasta tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kesal Kiera. "Dari kecil gue emang takut sama hantu."
"Iya, sampai lo ngaku ke teman sekelas kalau bisa lihat setan. Pas lo bilang cium bau melati, satu kelas gempar, dikira ada kuntilanak. Nggak taunya si Hansen lagi minum Jasmine tea. Kampret!"
"Udah, Ki. Jangan dibahas lagi. Kram perut gue ...." Bramasta memegangi perutnya yang kaku karena terlalu banyak tertawa.
"Belom yang pas kita ada acara persami di sekolah, waktu anak-anak bikin roti bakar. Lo main comot aja, lo bilang mesesnya rasanya aneh, nggak taunya tai cicak. Hueekk ...."
"Ya ampun, udah, Ki." Bramasta kembali tergelak. Membuat kedua keluarga yang menyaksikan mereka berdua dari jauh merasa bahagia.
"Kelihatannya mereka cocok, ya. Semoga bisa berjodoh," kata ibu Bramasta ke nenek Mutia.
Padahal ....
"Bilangin ke nenek lo ya, Ki. Supaya jangan jodohin kita."
"Kenapa nggak lo aja, sih? Kalau gue yang bilang, nenek pasti nggak mau denger. Gue jarang menang kalau debat sama nenek, seri aja udah syukur."
"Tapi gue nggak bisa nolak, Ki. Papa ngancem nggak mau biayain spesialis gue ... kalau sampai perjodohan ini gagal. Pas banget gue mau lanjut spesialis tahun ini."
