"Mau ke mana?" Steven memegang pundak Kiera yang hendak naik ke boncengan Hansen, membuat gadis itu kaget setengah mati.
Steven mengamati penampilan Hansen dari atas ke bawah, dilihat dari outfit yang dipakai, juga motornya, sepertinya anak orang kaya.
Hansen juga mengamati penampilan Steven dari atas ke bawah, dengan polosnya pemuda itu bertanya.
"Om siapa?"
Mendengar pertanyaan Hansen, seketika Steven menjadi emosi.
"Om? Om? Coba lihat baik-baik."
Hansen sadar dirinya sudah salah bicara, secepatnya pemuda itu meralat pertanyaannya. "Maaf, maksud saya Kakak, eh Abang, siapanya Kiera?"
"Suaminya. Mau apa?"
Seketika nyali Hansen langsung ciut. Ia melirik ke arah Kiera sambil berbisik. "Kok lo nggak bilang, sih, Ki?"
"Ya mana gue sempat." Kiera mengelak.
"Mau ke mana kalian tadi?" Steven bertanya kepada Kiera yang masih diam saja, bukannya menjawab pertanyaannya.
"Terus si Jamet ini siapa?" Steven menunjuk ke arah Hansen.
Walaupun sakit hati karena dikatai jamet oleh Steven, tapi Hansen masih mencoba bersikap sopan, namanya juga sama yang lebih tua.
"Saya teman sekolahnya Kiera dulu, Om, eh ... Bang." Hansen bicara terbata-bata.
Steven hanya menatapnya datar, membuat Hansen salah tingkah. Pemuda itu melirik ke arah Kiera lagi. "Kayaknya gue pulang aja ya, Ki?"
"Pake nanya lagi! Buruan sana pergi!" Steven malah mengusir Hansen, membuat Kiera malu setengah mati.
Setelah Hansen pergi, Kiera segera memarahi Steven.
"Bagus lo begitu, Bang? Itu anak orang jadi sawan gara-gara lo gituin. Lagian dia maksudnya baik kok, mau anter gue pulang. Kan lumayan gratis."
Steven mengabaikan protes dari Kiera. Bodoh amat mau sawan kek, kesurupan kek. Siapa suruh kecil-kecil jadi pebinor!
"Kenapa tadi ke sini? Tadi Revan bilang lo datang waktu gue lagi meeting di luar. Ada perlu apa nyari gue?"
"Dih, pede! Gue ke sini buat ketemu sama kak Revan. Mau nanya soal warisan. Bukan mau ketemu lo. Bosen amat. Di rumah ketemu, di sini juga ketemu."
"Ya udah, sana pulang. Bersih-bersih kek, apa kek. Kayak ibu-ibu yang lain. Jangan kerjanya keluyuran nggak jelas sama Jamet," sindir Steven lagi.
"Dia punya nama. Namanya Hansen. Enak aja bilang jamet. Orang tuanya susah-susah nyari nama di Google juga, pake bubur beras merah juga, sama potong kambing dua ekor."
"Mau potong dinosaurus kek, Tyrex kek, bodo amat. Di mata gue, nama itu anak tetap si Jamet." Steven bersikeras.
Akhirnya Kiera pulang dengan diantar suaminya, sekalian mengambil berkas yang ketinggalan di rumah.
Dalam perjalanan pulang, mereka terlibat debat kusir lagi ....
"Mending mobil Abang ditukar motor deh. Kayak punya si Hansen tadi. Kelihatan lebih keren, berasa bangga juga diboncengnya."
Sambil fokus menyetir, Steven melirik malas ke arah istrinya.
"Ya mending mobil ini kemana-mana lah. Dibeliin motor si Jamet tadi bisa dapat tiga. Nggak kehujanan, nggak kepanasan ...."
"Bagusan motor. Bisa buat sunmori."
"Makanya, jangan kebanyakan nonton sinetron anak jalanan. Pasti lo menghayal jadi Reva yang Natasya Wilona itu, ya?" ejek Steven.
"Pokoknya tuker!" Kiera bersikeras hendak menukar motor suaminya dengan motor.
"Lo sehat? Mobil mau ditukar sama motor. Udah mendingan mobil aja, bisa buat periksa-periksa ke bidan, kalau lo hamil nanti." Steven kelepasan bicara. Membuat Kiera yang mendengarnya jadi salah tingkah. Suasana berubah jadi canggung.
"Kata siapa gue mau hamil?"
"Terserah lo, sih. Tapi, kalau lo nggak hamil, alamat warisan lo nggak bisa cair." Steven berkata enteng.
"Jadi Abang tau?"
"Tau. Kan nenek sendiri yang ngasih tau."
Kiera semakin kesal mendengar jawaban Steven, jadi cuma dia yang tidak diberi tau? Keterlaluan. Ini namanya penipuan! Kudu dilaporkan. Tapi ke mana, ya?
"Orang-orang pada kenapa, sih? Ngeselin banget!" Kiera menggerutu seorang diri. Sedang Steven hanya menahan tawa melihat wajah istrinya yang kesal.
***
Maaf kalau updatenya lama yagesya. Maklum akhir-akhir ini lagi ribet dengan urusan perduniawian 🤣 sekalian melatih kesabaran yekan?