Hans mengajak Kiera ke bagian administrasi keuangan, kebetulan seorang karyawati di sana sedang cuti hamil.
"Untuk sementara kamu bantu-bantu di sini, ya?" Hans berkata kepada Kiera setelah menitipkan Kiera kepada manager di sana.
"Pak, nggak ada bagian lain yang masih kosong? Kemana aja deh, pokoknya jangan di sini." Kiera merajuk setelah tau ia akan satu bagian dengan Mirna. Apalagi Mirna akan menjadi mentornya secara langsung.
Dari kejauhan Mirna sudah tertawa sinis ke arah Kiera, sepertinya siap-siap balas dendam akan sikap Kiera selama ini yang selalu saja memanggilnya Marni.
"Memangnya kenapa, Mbak?" Hans mengerutkan dahi. Ada-ada saja ulah karyawati baru ini, mentang-mentang adiknya bos.
"Saya nggak bisa ngasih tau alasannya, Pak. Pokoknya saya nggak mau di sini. Gimana kalau jadi asisten Bapak aja?" Kiera mencoba menawar.
"Tapi saya nggak butuh asisten, Mbak." Hans berpikir sebentar, kemudian mengambil ponselnya, untuk menghubungi Revan.
"Kata Pak Revan, kalau Mbak nggak nurut disuruh pulang aja." Hans tidak enak hati mengatakan pesan Revan. Kemudian Hans pamit pergi.
"Ya udah, deh. Apa boleh buat. Gue harus bisa menghadapi si janda ikan asin itu! Memang dia bisa ngapain gue? Di sini gue tetep adiknya bos. Susu anaknya itu dibeli pakai gaji dari kakak gue. Awas aja kalau dia macem-macem. Gue tendang dari kantor ini." Kiera bergumam sendiri sambil mengepalkan tangan, bersiap bertempur dengan Mirna.
"Heh, anak baru! Ngapain bengong di situ aja? Niat kerja nggak, sih?" Dengan beraninya Mirna meneriaki Kiera.
Kiera segera menoleh ke arah Mirna dengan wajah sangar. Berani-beraninya si janda ini cari gara-gara. Lihat aja nanti.
"Lo manggil gue?" tantang Kiera sambil menghampiri Mirna.
"Sama senior nggak sopan. Pakai lo-gue." Marni mulai memarahi Kiera.
"Jangankan sama lo, sama bos di sini gue juga berani pakai lo-gue. Lo belom lupa kan, gue ini siapa?" Kiera melipat tangan di depan dada sambil tersenyum sinis ke arah muka Marni yang memerah.
"Cepat foto copy berkas ini! Jangan pakai lama!" Mirna melempar berkas ke muka Kiera. "Gue nggak takut mau kamu adik bos sekalipun. Kerja cepat!"
"Berani lo, ya!" Kiera mendekati Mirna bersiap menjambak rambutnya.
"Kiera!" Sebuah suara menghentikan Kiera, Steven sudah berdiri di belakang Kiera.
"Mau ngapain?" tanya Steven tajam. Sementara Mirna hanya tersenyum samar.
"Mau gampar dia lah, apa lagi?" Kiera bersiap maju lagi, tapi Steven menahan tangannya. Kiera berontak karena gemas, dari tadi pingin gampar Marni, tapi nggak bisa-bisa.
"Jangan malu-maluin! Kayak orang nggak sekolah. Baru hari pertama kerja, udah mau gampar orang aja." Steven melepaskan tangan Kiera dengan kasar.
"Oh, jadi Abang belain dia?" Kiera menunjuk wajah Marni sambil berteriak marah, cukup menarik perhatian karyawan lain.
Para karyawan itu menengok sebentar, kemudian pura-pura fokus lagi dengan laptop masing-masing. Tapi kuping masi mode siaga.
"Abang tau nggak, dia tadi udah kurang ajar sama gue!" Kiera hampir menangis karena Steven terkesan membela Mirna. Padahal Kiera ini istrinya loh.
"Ngasih tugas doang, emang kurang ajar?" Mirna balik bertanya.
"Tapi nggak lo lempar juga ke muka gue!" Kiera balik membentak.
"Udah, jangan ribut di sini." Steven menarik tangan Kiera. "Mending lo pulang. Daripada bikin malu. Kelihatan banget dari cara ngomong lo, kalau attitude lo itu nggak bagus."