Steven heran memandangi Keira yang sedari tadi berada di depan kaca rias. Padahal hari sudah malam. Kaca rias itu Steven yang membelikan untuk Kiera. Sebelum ada Kiera di rumahnya, kaca rias itu tidak pernah ada. Maklum, Steven kan bujangan, ngaca di spion mobil pun cukup.
"Lo nggak tidur, Ki? Gue perhatikan, dari tadi lo sibuk bedakan aja."
"Ini gue skincare-an." Kiera mengoreksi ucapan suaminya.
"Oh, jadi ke situ larinya duit belanja yang gue kasih?" Steven memperhatikan deretan make up yang terpajang rapi di meja rias itu.
"Iya, ini namanya krim pagi, satu juta harganya. Nah, yang ini krim malam, sejuta lima ratus harganya." Kiera menunjukkan jar kaca di tangannya dengan semangat. "Memang mahal, soalnya produk Korea punya. Ini sama kayak yang dipakai Jisoo."
"Kenapa harga krim malam lebih mahal dari krim pagi? Apa krim malem keitung lembur?" Steven bertanya dengan polosnya.
"Ih, Abang mah!" Kiera kesal mendengar pertanyaan suaminya yang absurd. "Pokoknya Abang harus kerja keras kalau mau punya istri yang cantik dan glowing kayak gue."
Steven mengakui, Kiera memang cantik dan glowing. Steven kadang bangga ketika dipuji oleh tetangganya. Wah, istri pak Steven masih muda dan cantik, ya? Beruntung banget.
"Cantik juga percuma. Kalau nggak bisa diapa-apain."
Kiera memandang Steven dari kaca, dengan ekspresi sengit. "Maksud Abang apa, hah? Abang mau poligami?"
"Lo kejauhan mikirnya. Mana ada gue bilang gitu?" Steven bingung karena tiba-tiba dituduh.
Kiera menoleh dengan kesal. "Ngaku aja, deh. Abang mau poligami 'kan?"
"Makin ngaco. Gue tidur aja deh." Steven memejamkan mata dan mengubur dirinya dalam selimut. Daripada terlibat debat kusir dengan Kiera.
Kiera kesal dan menarik selimut Steven. "Nggak usah menghindar. Tadi Abang keceplosan mau poligami 'kan?"
"Apa, sih, Ki? Nggak ada gue ngomong gitu. Lo sendiri yang mikir kayak gitu. Lagian kenapa coba kalau gue poligami? Kan lo nggak bakal cemburu?"
Kiera terdiam mendengar ucapan Steven. Tidak tau kenapa hatinya dongkol. "Ya nggak cemburu, sih. Tapi 'kan ...."
"Kan malah bagus, lo nggak usah capek-capek masak buat gue, nyuciin baju gue. Ntar gue makannya di rumah istri muda, sekalian gue bawa cucian kotor."
Kiera masih diam, raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Membuat Steven takut juga.
"Gue aduin nenek!" ancam Kiera.
"Orang nenek sendiri yang nyuruh, Wlee!" Steven menjulurkan lidahnya ke arah Kiera. "Kata nenek, gue boleh nikah lagi kalau lo nggak beres melayani gue. Gitu katanya."
"Nggak mungkin nenek ngomong gitu!" Kiera tidak percaya dengan ucapan Steven. Pasti itu hanya karangan Steven aja 'kan?
Steven meraih ponselnya dan tampak mencari sesuatu. Mencari barang bukti.
"Ini WA-nya."
Kiera mendorong ponsel Steven, enggan memeriksa. "Pokoknya gue nggak mau dipoligami!"
"Halu aja lo. Lagian siapa coba yang mau poligami? Orang gaji gue udah lo abisin semua. Kan gue jadi nggak punya modal buat nambah personel baru."
"Ya mending gue yang ngabisin, daripada dihabisin pelakor. Kan gue yang istri sahnya Abang!" Kiera tidak mau kalah.
"Ya udah makanya. Nggak usah bahas yang macem-macem. Mending tidur." Steven membalikkan tubuhnya membelakangi Kiera.
"Gue mau ke minimarket." Kiera meraih hodienya. Rencananya mau nyari ciki dan cemilan lain untuk dibawa liburan ke villa lusa.
"Udah malem, Ki. Besok ajalah." Steven mencegah. Malas juga kalau disuruh mengantar.
"Gue berangkat sendiri." Kiera tidak menghiraukan larangan suaminya.
"Lah, malah bahaya. Lo nggak tau, kemarin ada kasus begal payudara di depan komplek kita? Meskipun payudara lo cuma segede nasi mekdi, tetep kudu diamankan."
Kiera cemberut dengan sikap cerewet suaminya. "Orang ke depan gang aja loh."
Steven mulai kesal dengan sikap ngeyel istrinya. Ia pun bangkit dari tidurnya dan meraih kunci mobil dan ponselnya.
"Gue aja yang belanja. Kirim lewat WA, apa-apa aja yang kudu dibeli."
"Gue ikut." Kiera masih bersikeras.
"Nggak usah sok romantis, ya. Gue aja yang pergi. Kemarin kita belanja, apa-apa lo masukin ke keranjang. Untung duitnya nggak kurang." Steven menolak mengajak istrinya.
"Pokoknya ikut." Kiera ngotot ingin diajak. Seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya ke pasar.
Steven capek berdebat terus dengan Kiera. Perempuan memang seperti itu wataknya. Keras kepala. Udah bagus-bagus dikasih alis oleh tuhan, malah digambar ulang. Dikasih tau suami, malah ngeyel. No counter pokoknya.
"Ya udah, ayo. Tapi jalan kaki aja, ya." Steven meletakkan kembali kunci mobilnya. Berharap Kiera membatalkan keinginannya untuk ikut.
Tapi Steven salah, Kiera malah mengikutinya keluar kamar.
Di luar rumah, ada beberapa tetangga Steven yang masih nongkrong di depan rumah sambil main catur.
"Waduh, romantis amat pengantin baru. Malam-malam jalan-jalan berdua." Salah satu tetangga Steven menyapa.
"Mau ke minimarket aja kok, Pak." Steven menanggapi dengan ramah.
"Ya begitulah pengantin baru, nggak kuat kalau pisah lama-lama. Maunya kemana-mana berdua terus. Kayak kita dulu ya, Ma?" Bapak-bapak tetangga Steven itu melirik ke arah istrinya.
"Ih, Papa." Istri bapak-bapak itu tersipu malu.
"Maaf, Pak, Bu. Kita jalan dulu, ya ...." Steven berpamitan dengan canggung sambil menggandeng tangan Kiera.
Ketika mereka sudah di tikungan, Kiera segera melepaskan tangan Steven.
"Abang nggak usah nyari kesempatan, ya. Ngapain pakai gandeng-gandeng tangan segala. Udah kayak truk Pantura."
"Gandeng tangan aja nggak boleh. Awas lo ya, kalau nanti di minimarket minta es krim. Nggak gue beliin!" Steven meninggalkan Keira sambil berjalan cepat.
"Eh, Abang tunggu! Kok gue ditinggal, sih?" Kiera mengejar Steven dengan kaki pendeknya. Tiba-tiba sandal Kiera putus.
"Tuh 'kan, putus jadinya." Kiera malah menyalahkan Steven.
"Makanya, kalau jalan itu jangan bar-bar. Gue sandal swallo sepuluh ribu, lima tahun nggak putus-putus 'tuh."
Steven melepas sandalnya dan menyerahkan kepada Kiera. Membuat agak tersentuh dengan sikap gentle suaminya. Hatinya jadi terharu.
"Terus, Abang nyeker dong? Entar kalau nginjek tai ayam, gimana?"
"Ntar gue jalannya loncat, kayak pocong."
***