Steven mampir sebentar ke kantor setelah meeting di luar, rencananya hanya menyerahkan berkas ke ruangan Revan, lalu bergegas menemui Kiera di restoran. Steven optimis dengan mereka makan siang di luar, hubungan mereka akan semakin membaik.
Setelah dari ruangan Revan, Steven langsung bergegas pergi. Saat melewati pantry, ia mendengar suara pria dan wanita yang sedang berbisik-bisik. Steven pun jadi curiga.
"Alah, kamu nggak usah jual mahal, Mirna. Aku tau kok, sebenarnya kamu juga kesepian. Jujur ajalah."
"Kamu nggak usah sok tau, ya, Bagas! Lagian bukan urusan kamu aku mau kesepian apa nggak." Mirna menepis tangan Bagas yang dengan kurang ajarnya mencolek pipinya.
"Kebetulan aku juga lagi kesepian, kita ini senasib loh. Nggak ada salahnya kita saling tolong menolong. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak suka gratisan kok. Bilang aja kamu mau duit berapa, nanti aku kasih. Lumayan buat beli susu anak kamu."
"Bagas, kamu jangan kurang ajar, ya! Akan aku laporkan kamu ke atasan."
Steven refleks masuk ke ruangan pantry yang sempit itu. Tampak Bagas berusaha menggerayangi Mirna.
Melihat Steven datang, keduanya syok. Muka Bagas pucat pasi, sedang Mirna segera berlari ke arah Steven.
"Ada apa ini?" Steven bertanya dengan tegas.
"Enggak, Pak. Kami cuma ...."
Bagas berusaha menjelaskan, tapi susah mencari alasan. Orang sudah jelas-jelas dia berusaha menggerayangi Mirna. Inilah akibatnya tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Mentang-mentang istrinya lagi masa nifas sehabis lahiran. Ditambah Mirna yang sering mondar-mandir di depannya pakai pakaian ketat. Makin meronta-ronta jiwa jablainya. Semula dia kira akan mudah membujuk Mirna. Paling 500 ribu juga mau. Dia yakin Mirna tadi cuma pura-pura jual mahal saja.
"Pak, dia mau ngapa-ngapain saya!" Mirna mengadu.
"Enggak, Pak. Dia duluan yang godain saya. Kemarin dia saya ajak nonton mau kok." Bagas membela diri.
"Kan cuma nonton, Gas! Kok kamu jadi ngelunjak ngajak yang lain? Jangan kurang ajar gitu dong, mentang-mentang aku janda. Aku juga punya harga diri." Mirna membantah ucapan Bagas.
Steven pusing mendengarkan pengakuan kedua orang itu. Kemudian ia memanggil satpam melalui telepon.
Tak seberapa lama satpam pun datang. Bagas semakin ketakutan.
"Bawa dia ke kantor polisi! Bawa juga bukti CCTV," perintah Steven.
Mendengar kata polisi, seketika Bagas panik. "Pak, jangan laporkan saya ke polisi. Saya nggak sengaja, Pak."
Bagas memohon dengan wajah memelas. Pekerjaan dan rumah tangganya sedang dipertaruhkan. Istrinya pasti langsung minta cerai jika tau perbuatannya di kantor.
"Istri saya baru lahiran, Pak. Anak saya masih bayi. Kalau saya dipenjara, siapa yang menafkahi mereka?"
"Makanya, Bagas. Kamu itu jangan pecicilan. Sudah punya anak dan istri di rumah, bukannya kerja yang benar, malah ...."
"Saya janji, Pak. Saya nggak akan mengulanginya." Bagas memotong ucapan Steven.
Mirna agak kasihan melihat Bagas yang memelas seperti itu. Mirna juga kasihan kepada istri Bagas kalau laki-laki itu dipenjara. Apalagi istrinya baru melahirkan, pasti perempuan itu akan syok. Mirna merasakan tidak mudah mencari nafkah seorang diri tanpa suami.
"Pak, cukup sampai di sini saja. Jangan diteruskan lagi." Mirna berkata kepada Steven yang sibuk memeriksa CCTV.
Steven menoleh ke arah Mirna dengan kerutan di dahi. "Serius, kamu mau maafin dia?"
