Steven dan Kiera pergi ke villa agak terlambat. Tadi mereka kesiangan karena nonton Netflix semalaman.
"Ini gara-gara lo, sih. Udah dibilang nggak usah nonton film. Maksa terus. Kan jadi kesiangan. Tau sendiri jalanan suka macet kalau weekend gini." Steven menggerutu karena terjebak diantara padatnya kendaraan.
"Ya udah, sih. Biar nggak setres kejebak macet, mending gue nyanyiin. Ehem ...." Kiera bersiap membersihkan tenggorokannya, sebelum mengeluarkan suara emasnya.
"Tak segampang ituuu ... ku mencari penggantimu ... tak segampang ituuu ...."
Steven menutup lubang telinganya dengan tissu, tak lupa ia mengambil tahu Sumedang yang tadi dibelinya di lampu merah. Dimasukkan ke mulut Kiera begitu saja.
"Uhuk ... uhuk ...." Kiera terbatuk-batuk, namun tetap ia kunyah juga tahu di mulutnya. Untung tahunya enak.
"Udah, nggak usah repot-repot nyanyi. Simpan aja suara emas lo untuk acara tujuh belasan di komplek kita nanti. Siapa tau dapat hadiah kipas angin kosmos wadesta." Steven memperingatkan Kiera.
"Orang yang nggak menghargai karya orang lain. Padahal suara gue bagus. Ada bakat gue." Kiera cemberut karena hinaan Steven.
"Tipe bakat yang seharusnya dipendam. Cocoknya ikut audisi Indonesia mencari zakat." Steven mencibir lagi.
Tengah hari, Steven dan Kiera baru sampai di villa nenek Mutia di Lembang. Kiera terlihat malas-malasan keluar dari mobil.
"Kenapa harus villa yang ini, sih? Bosen banget. Ini mah, markas gue kalau lagi bolos kuliah."
"Kesini sama siapa?" tanya Steven curiga.
"Ya sama ...." Kiera tak meneruskan ucapannya. Gadis itu tampak gelagapan. "Sendiri."
Steven tak percaya begitu saja dengan jawaban Kiera. Tapi ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah.
Revan dan Eliza yang telah sampai lebih dulu, menyambut kedatangan mereka. Eliza bangkit hendak pergi ke dapur.
"Mau kemana?" Revan menahan tangan istrinya yang terlihat susah berjalan.
"Mau bikin minuman, pasti mereka kehausan setelah perjalanan jauh." Eliza menjawab.
"Biar si Kiera aja yang bikin. Kamu duduk aja." Revan memamggil Keira yang kebetulan berjalan di dekatnya.
"Bikinin kopi buat suami lo. Sekalian buat gue juga."
Kiera melotot mendengar ucapan kakaknya. "Gue masih capek, Kak."
"Tinggal tekan dispenser doang." Revan menjawab santai. "Kan lo nganggur."
"Kenapa nggak nyuruh istri lo aja." Kiera balik menyuruh Eliza. "Kan dia juga ngganggur."
"Jadi adek ipar jangan kurang ajar. Istri gue hamil." Revan berkilah.
"Kan tinggal tekan dispenser?" Kiera membalikkan ucapan Revan.
Steven yang melihat kedua saudara itu berdebat cuma karena perkara kopi, segera menengahi. "Elah, cuma kopi doang. Gue bisa bikin sendiri."
Steven hendak berjalan ke dapur, tapi Revan mencegahnya. "Biar Kiera aja. Kiera! Cepet bikin!"
Dengan bersungut-sungut, Kiera berjalan ke dapur. Koper di tangannnya di buang begitu saja. Begitu juga dengan kantong kresek berisi ciki-ciki. Semua jadi berhamburan.
Eliza jadi tak enak hati, diam-diam menyusul Kiera ke dapur. Berniat membantu Kiera.
"Aku bantu ya, Ki." Eliza menawarkan diri.
