Setelah sholat subuh, Eliza bergegas keluar kamar, hendak menyiapkan sarapan untuk Revan. Betapa kagetnya dia, ternyata di dapur sudah ada Grace.
Jadi wanita ini benar-benar tidur di sini? Pikir Eliza.
"Kamu nggak belanja bahan makanan? Aku lihat kulkasnya kosong. Sayang sekali, padahal aku mau masak." Grace menutup kulkas dengan kecewa.
Lagaknya terlihat seperti nyonya rumah di sini, membuat Eliza merasa muak.
"Nanti saya ke pasar." Eliza menjawab singkat.
Revan baru bangun tidur, pria itu pergi ke dapur hendak mengambil air putih. Ia mengerutkan dahi melihat Grace dan Eliza sudah ada di dapur.
"Kamu sudah bangun, Van?" sapa Grace dengan ramah. Revan menanggapi dengan canggung.
"Semalam dia tidur di kamar kamu?" tanya Eliza langsung kepada Revan. Membuat pria itu kebingungan ingin menjawab apa.
"Mbak! Kalau sama majikan yang sopan, ya!" Grace tidak senang melihat sikap Eliza kepada Revan yang menurutnya kurang ajar. Berani-beraninya mencampuri urusan majikan.
Revan tak kunjung menjawab pertanyaan Eliza. Membuat Eliza menyerah dengan rasa ingin tahunya.
"Aku pergi." Eliza berjalan melewati Revan di dapur yang sempit itu.
"Kemana?"
"Pulang ke rumah orang tuaku." Eliza berjalan cepat ke kamarnya, mengemasi semua barang. Ia tidak mau tinggal di tempat maksiat seperti ini.
Revan sudah benar-benar keterlaluan padanya. Sama sekali tidak menghargai perasaan Eliza. Lebih baik Eliza pergi. Supaya Revan bisa bebas berzinah sesuka hatinya.
Melihat istrinya keluar kamar sambil menenteng tas pakaian, bukannya mencegah, Revan malah mematung seperti batu.
"Ini aku kembalikan." Eliza meletakkan kartu akses apartemen dan juga beberapa kartu ATM di meja makan.
Grace melihat semua itu dengan pandangan heran, kenapa pembantu seperti Eliza bisa memiliki barang milik Revan.
"El, tunggu ...." Revan menahan Eliza.
"Aku tidak akan mengadu kepada nenek, kalau itu yang kamu takutkan. Seharusnya kamu sendiri yang menyelesaikan semuanya, bilang baik-baik ke nenek. Bukan begini caranya. Apa kamu pikir karena aku tidak punya orang tua, terus bisa kamu perlakukan seenaknya?" Eliza berjalan melewati Revan tanpa menoleh sama sekali.
"Sebenarnya di siapa, Van? Kenapa dia bisa memiliki semua ini?" Grace menyerahkan kartu-kartu milik Revan. "Kamu nggak seharusnya ngasih barang-barang pribadi kamu sama orang asing."
"Aku keluar sebentar." Revan bergegas hendak menyusul Eliza.
"Kemana? Kamu baru aja keluar dari rumah sakit, Van." Grace tidak mengijinkan Revan untuk pergi.
"Kenapa kamu datang ke apartemen aku pagi-pagi begini, Grace? Kamu sudah bikin Eliza salah paham. Pasti dia mengira kamu tidur di kamar aku."
"Lalu kenapa, Van? Biar aja dia salah paham. Toh dia cuma pembantu di sini. Ngapain kita repot-repot jaga perasaan dia?" Grace merasa janggal dengan sikap Revan yang terlihat panik setelah ditinggal Eliza.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Van. Sebenarnya siapa wanita itu? Aku lihat-lihat dia ngelunjak sekali. Tidak seperti pembantu pada umumnya?"
Grace semakin curiga karena Revan tidak segera menjawab. "Kamu bohong sama aku, Van? Sebenarnya dia bukan pembantu kan?"
"Memangnya siapa yang pernah bilang kalau dia pembantu? Kamu sendiri yang beranggapan begitu." Revan berkilah.
"Jadi benar, dia bukan pembantu di sini?" Dada Grace berdebar-debar, jangan-jangan dugaannya selama ini benar ....
"Memang bukan." Revan menjawab santai. Mungkin ini saatnya ia harus jujur kepada Grace.
Mungkin juga setelah ini ia akan kehilangan kontrak dengan perusahaan papanya Grace. Sudahlah, anggap saja belum rejeki.
"Lalu dia siapa, Van?" kejar Grace.
"Dia istri aku."
"Apa?"
***
