64

778 59 10
                                    

Steven pergi ke apartemen Revan untuk mengecek pembantu yang dia pesan. Saat Titin membuka pintu, Steven kaget melihatnya.

"Kamu siapa?" tanya Steven.

"Nama saya Titin, Pak. Saya pembantu baru di sini." Titin memperkenalkan diri dengan sopan. Ia mengamati penampilan Steven dari atas ke bawah.

Lumayan juga cowok yang ini, kalau sama pak Revan nggak bisa, yang ini juga boleh ... pokoknya aku nggak boleh pulang kampung dengan tangan kosong, minimal bawa suami, pikir Titin.

"Revan mana?" tanya Steven membuyarkan lamunan Titin.

"Bapak sama ibu sedang keluar, Pak." Titin menjawab gelagapan.

Steven mengamati baik-baik wajah Titin. Kemudian ia sibuk mengingat.

"Kayaknya pembantu yang saya pesan bukan kamu deh."

"Iya, Pak. Memang bukan saya. Itu sepupu saya, namanya Tuti. Kebetulan kemarin dia nggak bisa datang, karena mendadak sakit. Saya yang menggantikan."

Steven hanya mengangguk pelan, kemudian memeriksa jam tangannya.

"Mereka kapan pulangnya?"

"Tidak tau, Pak."

"Ya udah, saya balik deh." Steven bersiap undur diri, tapi dicegah oleh Titin.

"Nggak mau minum dulu, Pak?"

"Nggak usah." Steven buru-buru pergi dari hadapan Titin, membuat Titin kecewa. Padahal Titin ingin pedekate dengan Steven.

(Sumpah ya, Tin. Elu jadi pembokat nggak tau diri amat, nggak ada minder-mindernya sama sekali 🤣)

Tengah malam, Revan dan Eliza belum juga pulang, membuat Titin kesal setengah mati.

"Mereka kemana, sih?" Titin mondar-mandir di ruang tamu.

Sementara itu, di sebuah restoran mall, Revan dan Eliza malah enak-enakan makan malam. Eliza mengeluh lapar setelah habis nonton.

"Mas, nanti kita nggak usah pulang, ya?"

"Kamu mau kita nginep di sini?" tanya Revan senang.

Kebetulan di mall itu juga tersedia hotel yang cukup bagus. Walaupun tidak bintang lima.

"Iya, Mas. Kita nginep di sini aja. Bisa 'kan?"

"Wah, tumben. Kenapa 'tuh?"

"Nggak papa. Bosen di rumah terus." Eliza beralasan. "Kamu nggak mau, Mas?"

"Mau aja, sih. Tapi biasanya kalau nginep di hotel, rugi kalau cuma tidur aja." Revan tersenyum licik. "Bentar, ya. Aku mau ngasih tau Titin, kalau malam ini kita nggak pulang."

"Ngapain, sih, Mas?"

"Ya siapa tau, dia nungguin kita."

Eliza menunggu Revan selesai menghubungi Titin. Matanya awas memperhatikan raut wajah Revan.

"Si Titin itu lucu deh, masa katanya nggak berani ditinggal di apartemen sendirian." Revan berkata santai. "Katanya takut ada hantu."

Eliza memasang wajah datar mendengar cerita Revan. "Kamu nggak nanya, apa dia mau ikut sekalian nginep sama kita?"

"Kamu kenapa, sih, Sayang? Selalu ketus sama Titin. Dia salah ada salah sama kamu?"

"Nggak, sih. Tapi nggak tau kenapa, aku nggak suka sama dia. Kayak ada yang aneh." Eliza menjawab jujur.

"Tumben? Biasanya kamu orangnya positif vibes banget loh."

Eliza hanya mengangkat bahu. "Mungkin hormon kehamilan. Bawaannya suujon sama orang."

"Eh, nggak boleh gitu, Sayang. Orang hamil harus positif thinking. Ya udah, aku booking room dulu, kamu tunggu sini."

Revan pergi meninggalkan Eliza. Tak disangka ia malah bertemu dengan Steven yang baru saja ketemuan dengan mantannya.

"Aku tadi ke apartemen kamu, El." Steven mulai bercerita.

"Oh, iya, Mas. Aku mau tanya. Bener, kamu yang pilih asisten rumah tangga untuk aku?"

"Iya. Tapi orang yang aku pilih bukan cewek yang di rumah kamu. Nggak bener itu yayasannya. Gini aja, cukupin dulu sebulan, terus kamu pecat dia. Nanti aku carikan lagi." Steven memberi saran. "Aku juga kurang sreg sama cewek itu, nggak tau kenapa."

"Sama, Mas. Kayak ada aura yang aneh sama dia. Tapi mas Revan malah percaya- percaya aja sama dia. Mungkin karena kamu yang nyari."

Revan tiba-tiba datang, Eliza dan Steven pun menyudahi percakapan mereka.

"Kok ada lo, sih?" Revan bertanya curiga.

"Gue baru aja ketemuan sama mantan gue, Erika. Ingat, kan?"

Revan mencoba mengingat. "Mantan lo pas kuliah dulu, ya?"

"Iya. Mantan gue cuma dia doang, sih."

"Heran. Mengingat kisah percintaan lo yang mengharu biru, gue kira kalian bakalan hepi ending."

"Nggak mungkin, dan nggak bisa."

"Kenapa dah? Sama-sama Batak juga." Revan keheranan dengan adat orang Batak.

"Dia marganya Hasibuan, gue Hutagalung."

"Ribet amat jadi orang Batak."

"Karena dulu, menurut riwayat, Hasibuan dan Hutagalung itu ibu dan anak." Steven menjelaskan lagi. "Pokoknya ruwet deh kalau gue jelasin."

"Iya, mending nggak usah. Lagian kami buru-buru mau naik."

"Ke mana?"

"Ke atas lah, yang namanya naik ke atas, kalau ke bawah mah turun." Revan menjawab ngegas.

"Iya, tau. Maksud gue, kalian nginep sini?" Steven bertanya lagi.

"Iya. Buat semalem aja. Nggak tau kalau istri gue mau nambah. Iya kan, Sayang?" Revan mengerling ke arah istrinya.

"Kan kalian punya rumah, ngapain nginep di hotel?"

"Repot amat lo, segala ngurusin hidup orang. Lo nggak diajak. Hotel gue bayar sendiri juga! Bilang aja sirik."

"Nggak usah pake ngegas, Mas." Eliza mengingatkan suaminya.

"Yuk, Sayang. Kita ke kamar. Tinggalin aja dia." Revan menarik tangan Eliza. Meninggalkan Steven seorang diri.

"Dih, belagunya." Steven mencibir sambil mengelus dada.

***

Puasin seneng- seneng lu, Van. Habis ini ... hm ... huru hara dah! 🤣

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang