Kiera sangat kecewa dengan Steven. Capek-capek dandan, ternyata hanya diajak makan cuanki di perempatan.
"Kalau tau bakalan gini, tadi gue nggak usah sok-sokan OOTD segala." Kiera menggerutu sambil menghempaskan pantatnya dengan keras, sampai bangku kayu yang didudukinya hampir patah.
Bertepatan dengan itu, segerombolan anak kecil sedang main petasan di dekat Kiera. Membuat Kiera semakin meradang.
"Dasar bocah-bocah nggak ada akhlak. Apa nggak bisa main petasan pakai headset aja!"
"Mereka itu lagi main petasan, bukan dengerin lagu. Kenapa, sih, lo?" Steven menyahut.
Kiera segera berteriak ke anak kecil yang kebetulan lewat di depannya. "Hei, anak siapa lo? Nggak ada sopan santunnya sama sekali. Lo anak orang, apa anak setan?"
"Nama bapak abdi Solikin! Abdi bukan anak setan!" Anak kecil itu ikutan ngegas.
"Mau bapak lo Soklin kek, Daia kek, gue nggak peduli! Panggil sini bapak lo. Biar gue kasih ilmu parenting cara mendidik anak yang baik dan benar. Jangan bisanya cuma bikin doang!"
Steven yang melihat perdebatan Kiera dan anak kecil itu, segera melerai. Keduanya mulai menarik perhatian orang sekitar.
"Udah, Ki. Sama anak kecil juga. Ngalah kenapa?"
"Ini bukan masalah kalah dan menang, ini masalah pesan moral." Kiera menghempaskan tangan Steven yang berusaha memijat pundaknya, untuk menenangkan.
"Kamu teh berani sama bapak abdi?" tanya si bocah lagi.
"Udah, Dek. Jangan diladeni. Kakaknya lagi sensitif. Kamu pergi aja, ya. Nanti gue kasih uang sepuluh ribu." Steven merogoh sakunya.
"Ngapain dikasih uang? Enak aja!" Kiera mencegah.
"Abdi teh bukan pengemis ...." Anak kecil itu berlalu dari hadapan Kiera dan Steven.
"Heh, tunggu lo! Main kabur aja!"
"Udah, Ki! Bangga lo, berantem sama anak kecil? Toh petasannya nggak kena muka lo? Organ-organ lo masih lengkap kan?" Steven mulai tak sabar menghadapi Kiera.
"Tapi tetep aja ...."
"Ingat, tujuan kita kemari buat apa? Makan cuanki kan? Lagian lo kenapa gitu amat? Belum lahiran udah baby blues aja."
Tukang cuanki yang kebetulan kenal dengan bapak anak tadi, ikut nimbrung.
"Teteh, Aa ... punten, bukannya saya mau ikut campur. Saya teh kenal sama bapak anak tadi. Dia jawara di kampung sini. Bahaya atuh kalau berurusan sama dia. Anu ... sebaiknya Aa sama Teteh buruan pergi deh. Kayaknya sebentar lagi dia bakal kesini."
"Nggak takot! Gue tetep mau makan. Bikinin, Mang. Cepet!" Kiera bersikeras makan di tempat.
"Take away aja, ya, Teteh," bujuk mamang Cuanki. "Nanti keburu ... tuh, kan ... beneran datang."
Mamang Cuanki segera memikul dagangannya menjauh.
"Mang! Kok malah pergi, sih." Kiera memanggil si penjual yang buru-buru pergi.
"Mana orang yang berani marahin anak saya!"
Kiera dan Steven menoleh berbarengan, tampak seorang bapak-bapak mirip debt kolektor bertelanjang dada sambil membawa golok.
"Asep! Tunjuk mana orangnya!" Bapak itu berbicara kepada anaknya, anak yang tadi dimarahi Kiera.
"Itu, Pak. Yang baju bunga-bunga!" Anak itu menunjuk ke arah Kiera yang berdiri dengan pongah. Tidak ada takutnya sama sekali.
Bapak-bapak itu berdiri di depan Kiera, sambil mengacungkan goloknya. "Berani kamu marahi anak saya?"
"Terus kenapa?"
"Udah, Ki. Diem." Steven ngeri melihat golok si Bapak yang berkilat. Pasti sangat tajam kalau untuk ngiris agar-agar.
"Pak, saya minta maaf. Ini cuma kesalahpahaman. Kita damai aja, ya, Pak." Steven berusaha menenangkan si Bapak.
Bapak Solikin melihat penampilan Steven dari atas ke bawah. Kelihatan kayak orang kaya, jam tangan dan sandalnya kelihatan mahal.
"Kalian orang kota jangan mentang-mentang. Berani marahin anak saya lagi."
"Makanya punya anak itu dididik! Bodoh!" Kiera berteriak lantang, membuat wajah Steven pucat pasi.
"Kamu yang bodoh! Namanya petasan ya bunyinya keras, kalau enggak namanya kentut! Dasar lonte!"
Steven yang semula diam, menjadi marah mendengar ucapan bapak-bapak itu. Dengan sigap Steven segera mengeluarkan jurus Aikido yang pernah ia pelajari waktu SD dulu.
Steven berhasil memiting dan membanting bapak itu ke tanah. Steven membuang goloknya, kemudian Kiera menendang golok itu ke semak-semak.
Asep yang melihat ayahnya terdesak, bersiap lari memanggil bala bantuan. Kiera segera menarik tangannya."
"Lepasin!" Asep berusaha memberontak.
"Mau manggil siapa lo? Abang lo? Kakek lo?" Kiera menolak untuk melepaskan Asep.
"Lepaskan saya!" Gantian Bapak si Asep yang meronta sambil terus berteriak. "Lepaskan anak saya! Kurang ajar kalian!"
Steven menekan punggung bapak si Asep, membuat orang itu berteriak kesakitan.
"Cepat minta maaf ke istri saya!"
"Buat apa? Istri kamu memang lonte! Lihat saja pakaiannya!"
"Kurang ajar!" Steven semakin keras menekan punggung pria itu, membuatnya menjerit kesakitan.
"Minta maaf sekarang juga! Cepat!"
Karena tak kuat menahan sakit, pria itu menuruti perintah Steven.
"Maaf, maafkan saya."
Steven segera melepaskan pria itu dan mendorongnya menjauh.
"Makanya, Pak. Punya anak itu dididik. Saya juga ngasih tau tujuannya baik. Main petasan itu kan nggak baik, bisa kena orang, kena tangan anak Bapak juga. Dikasih tau, malah ngeyel."
Asep segera menghampiri ayahnya yang terlihat tidak berdaya.
Tanpa banyak bicara, Steven segera menyeret Keira untuk pergi dari sana. Sebelum mereka menjadi tontonan warga.
***