3

2K 140 2
                                    

Eliza telah sampai di apartemen Revan yang terletak di pusat kota. Apartemen Revan tergolong mewah. Tetangganya kebanyakan artis dan juga ekspatriat. Ada juga wanita simpanan pejabat.

Eliza menatap takjub ke arah ruangan serba hitam putih di depannya, semuanya tampak rapi, perabotnya juga mahal semua.

"Jangan berani-berani ubah dekorasi rumah ini, apalagi naruh barang bernuansa pink, gue benci."

Eliza mengingat baik-baik pesan Revan. Untung saja warna favorit Eliza bukan pink, melainkan hijau bolu pandan.

"Dapur ada di sana. Jangan coba-coba masak makanan kampung, apalagi terasi dan ikan asin. Nanti bisa mengundang lalat masuk, bikin polusi udara juga. Gue benci bau terasi, bikin gue pusing, sesak napas."

Yang ini agak berat. Ikan asin dan sambal terasi adalah makanan kesukaan Eliza. Sekali makan bisa dua piring.

"Iya, Mas." Eliza mengangguk patuh.

"Kamar lo ada di sana." Revan menunjuk kamar tamu yang lebih kecil di sebelah kamarnya. Wajah Eliza terlihat cukup sedih ketika menarik kopernya ke arah kamar yang ditunjuk Revan.

Sebagai istri, Eliza merasa sedih karena tidak diharapkan oleh suaminya. Bahkan Revan jijik untuk tidur berdua dengannya.

"Gue cuma belum biasa tidur sama orang asing. Sementara lo di sana dulu," jelas Revan.

Revan takut Eliza mengadukan perbuatannya kepada neneknya. Bisa gawat kalau neneknya sampai murka. Bisa-bisa neneknya membatalkan rencana investasi ke perusahaannya. Saat ini Revan sangat membutuhkan suntikan dana dari neneknya.

Perusahaan Revan baru dirintis, belum memenuhi syarat untuk meminjam uang dalam jumlah besar kepada bank. Saat ini Revan hanya bisa mengandalkan kemurahan hati neneknya.

"Saya ngerti kok, Mas."

Eliza menutup pintu pelan, kemudian seperti yang diduga, gadis itu menangis di balik pintu. Menangisi nasib malam pertamanya yang tragis.

Revan menatap resah ke arah pintu kamar Eliza yang tertutup, pria itu berjalan mondar-mandir. "Kira-kira dia ngadu ke nenek nggak, ya?"

***

Di dalam kamar, Eliza segera berwudhu dan menghamparkan sajadah. Setelah sholat, ia mengadu kepada Allah. Tidak seperti dugaan Revan, Eliza memilih mengadu kepada Allah daripada mengadu kepada nenek Mutia.

"Ya Allah,  lembutkanlah hati suami hamba. Agar mau menerima hamba ...."

Setelah puas 'mengadu' kepada Allah, Eliza berdzikir sampai ia tertidur di atas sajadah. Eliza baru terbangun saat mendengar suara azan subuh dari ponselnya.

"Alhamdulillah, sudah subuh."

Eliza segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah sholat sunnah dua rakaat, gadis itu pun berjalan keluar kamar untuk mengajak Revan sholat subuh.

Revan masih tertidur di kamarnya, Eliza memberanikan diri untuk mengetuk kamar Revan. Mungkin pria itu tidak tau kalau sudah subuh, maklum tidak terdengar azan di apartemen ini.

"Mas, udah subuh."

Tidak terdengar sahutan, sepertinya Revan tertidur amat pulas. Eliza memutuskan untuk sholat seorang diri.

Setelah sholat Eliza segera turun ke dapur, ia ingin memasak sarapan untuk Revan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, sudah jam lima lewat. Eliza memutuskan untuk membangunkan Revan lagi. Kali ini Eliza memutuskan untuk masuk langsung ke kamar Revan.

"Mas, bangun. Udah subuh." Eliza menyentuh lengan Revan dengan hati-hati. Seperti membangunkan singa.

"Mas ...."

Revan masih tertidur pulas. Tidak terpengaruh sama sekali dengan panggilan Eliza.

"Mas!" Eliza mengeraskan suaranya sambil menggoyang tangan Revan agak keras.

"Apa, sih!" Revan terbangun dalam keadaan marah. Dilihatnya wajah Eliza yang sudah ketakutan.

"Sudah subuh, Mas." Eliza menjawab terbata.

"Emang kenapa kalau udah subuh?" Revan bertanya galak.

"Mas ... nggak sholat?"

"Nggak! Gue sibuk!"

Hati Eliza langsung mencelos mendengar ucapan Revan. "Mas ... nggak pernah sholat?"

"Nggak. Kenapa? Baru liat orang yang nggak pernah sholat?"

***

Kalau gue jadi si Eliza, gue doanya begini. "Ya Allah, dekatkan mas Revan di sisi hamba. Kalau tidak bisa, dekatkan dia di sisimu ya Allah ...."

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang