"Lain kali kalau mau ngomong dipikir dulu. Kamu pikir punya anak gampang apa?" tanya Revan datar.
"Nggak usah nangis!" Revan buru-buru memarahi istrinya yang siap dalam mode menangis.
"Kan ... tujuannya orang menikah memang untuk punya anak, Mas?" Eliza menjawab pelan. Sambil sibuk memilin-milin ujung bajunya.
"Itu kalau orang nikah dalam keadaan yang normal," sanggah Revan.
"Kamu tau sendiri, gimana ceritanya kita bisa menikah. Kita aja belum tentu cocok sebagai pasangan suami istri, ditambah lagi anak. Bisa tambah mumet." Revan menutup laptopnya, tidak berminat lagi melanjutkan pekerjaannya.
"Jangan karena beberapa hari ini aku mulai baik sama kamu, terus kamu jadi berharap banyak."
Eliza menunduk mendengar ucapan Revan. Mungkin dia memang terlalu naif jika mengharapkan pernikahannya dan Revan berujung bahagia. Eliza tau, dia bukan istri pilihan Revan. Dia hanya perempuan yang disodorkan oleh nenek Mutia untuk dinikahi Revan. Bisa jadi, dan memang pasti, dirinya bukan tipe favorit Revan.
"Jangan terlalu banyak berharap. Nanti kamu kecewa. Lihat saja nanti. Tidak usah terlalu memaksakan keadaan. Apalagi sampai punya anak segala. Aku kurang suka wanita yang suka memaksa. Kamu nggak perlu berbuat apa-apa, biar nanti aku sendiri yang mendatangi kamu. Kalau aku sudah siap tentunya."
Untuk saat ini Revan tidak akan menjanjikan banyak hal kepada Eliza. Bisa mempertahankan pernikahan setahun kedepan saja sudah untung. Saat ini fokus Revan hanya pada pekerjaan saja. Kalau nanti terbukti Eliza adalah perempuan yang cocok untuknya, maka Revan akan menerimanya dengan lapang dada.
"Tapi ... kata nenek, dengan adanya seorang anak, hubungan kita jadi makin kuat, Mas. Kata nenek, sih ...." Eliza berbicara takut-takut.
"Sudah aku bilang, aku tidak suka didikte. Aku mau semua berjalan apa adanya. Kamu cuma perlu sabar. Kalau memang kita berjodoh, semua akan berjalan semestinya."
"Tapi, Mas. Semua perlu diusahakan. Kalau cuma aku yang berusaha untuk memperbaiki hubungan kita, pasti akan susah. Aku juga perlu kerjasama dari kamu." Sebenarnya Eliza malu karena terkesan agresif dan memaksa Revan.
"Aku tidak mau membicarakan masalah ini lagi. Mengerti?"
Revan bersiap tidur di samping Eliza. Pria itu bahkan memunggungi Eliza. Membuat hati Eliza bertambah galau.
"Mas, aku boleh nanya?"
"Besok saja. Hari ini kamu sudah terlalu banyak bertanya. Ini sudah malam. Waktunya tidur. Aku ada meeting pagi." Revan menolak melanjutkan perdebatan mereka.
"Kamu punya pacar di luar, Mas?" Eliza tetap memberanikan diri bertanya.
Revan berbalik dengan kesal mendengar pertanyaan Eliza. "Nggak ada."
"Beneran?"
"Kita baru menikah beberapa hari, El. Tanpa proses pendekatan. Lalu apa yang kamu harapkan? Kalaupun aku belum bisa cinta sama kamu, itu wajar banget. Tapi bukan berarti aku ada pacar di luar."
"Maaf, Mas. Aku 'kan cuma nanya ...." Eliza mulai menangis.
"Menangis lagi!" Revan menjambak rambutnya sendiri dengan kesal. Sampai kepalanya terasa pusing.
"Kamu tau, aku mulai bosan dengan kebiasaan kamu, El. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menangis. Seharusnya kamu itu jangan pasang wajah seperti itu terus, bukannya enak dipandang, aku jadi semakin sumpek di rumah. Setres disuguhi orang menangis terus." Revan mulai tidak tahan dengan kebiasaan istrinya.
"Dengan menangis beban aku berkurang, Mas. Makanya aku suka nangis ... biarin aja kenapa, sih, Mas? Cara orang melampiaskan emosi kan macam-macam. Daripada aku teriak-teriak sambil banting barang." Eliza membantah.
"Ya sudah terserah. Mau nangis sampai air mata kamu kering juga terserah. Yang penting sekarang biarkan aku tidur. Aku udah capek banget. Please." Revan menata bantal, bersiap tidur lagi.
"Tapi, Mas. Aku masih pingin bicara ...."
"Masih ada hari esok, El. Astaga!"
***
Eliza ini tipe orang yang nggak suka membiarkan masalah berlarut-larut. Maunya ada masalah segera diselesaikan. Emang nggak enak banget, sih bawa masalah selagi tidur. Berasa tidur jadi nggak nyenyak. Sampai kebawa mimpi. Kalau bisa masalah harus selesai sebelum tidur hehe ...
Itu sih menurut saia 🤣 tapi kalau masalah utang mah nggak bisa dikelarin semalam, apalagi kalau utangnya banyak 🤣🤣🤣 kek cicilan rumah, cicilan motor, cicilan taperwer. Eh, emang cicilan itu termasuk masalah bukan, sih? Bagi sebagian orang, utang itu malah dianggap sebagai penyemangat hidup. Katanya hidup kurang menantang tanpa adanya utang 🤣🤣😁
Kok malah bahas utang, sih?
Sebenarnya saia bukan tukang ngutang yagesya. Tapi kepaksa, gimana dong. Mau punya rumah nunggu tabungan cukup, lama. Keburu harga rumahnya naik lagi. Maklumlah, saia nggak punya warisan 🤣 Btw bukan rumah perumahan ya, itu beli tanah kapling, nah yang buat bangun tuh yang minjem bang, bang ape? Bangke 🤣 iya tau ada yang bilang riba, tapi pernah liat pengajian gus (adalah) bukan Samsudin ya, katanya nggak papa, asal nggak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, saling ikhlas gitu lah. Wallahu alam ya ... pinjem juga nggak lama, sih, dua taun aja kok, maafin hamba ya Allah, besok nggak gitu lagi, janji.
Alhamdulillah, tahun ini utang cicilan rumah saia udah lunas 🤭 kagak ada yang nanya. Nggak papa saia cuma mau ngasih tau aja. Berbagi kebahagiaan 🤣
Akhirnya saia bisa fokus nulis tanpa mikirin utang lagi 🤣 lagian utang dipikirin, utang tuh seharusnya dibayar 🤣 kalau dipikirin terus mah nggak lunas-lunas.
Emang kalau utang udah lunas itu berasa plong banget. Berasa enteng, ada manis-manisnya. Tinggal nyari buat makan, sama sekolahin anak 🤭
Btw yang punya utang semoga cepet lunas (Aamiin paling kenceng) tetep dibayar ya walaupun nggak ditagih, harta emang nggak dibawa mati, tapi utang tetap dibawa mati 🤣 baiklah, mari kita akhiri segala pembahasan masalah hutang piutang ini, ditutup dengan doa, supaya kita semua dilancarkan rejekinya agar bisa membayar hutang. Aamiin ....