Keesokan paginya, Eliza bangun terlebih dahulu. Ia menoleh ke sampingnya, tampak Revan masih tertidur pulas. Seperti biasa, ia berusaha membangunkan Revan untuk sholat subuh berjamaah, dan seperti biasa juga, Revan menolak ajakan Eliza.
Akhirnya Eliza mengerjakan sholat subuh seorang diri. Dalam hatinya merasa sangat sedih, memikirkan kapan dirinya bisa sholat berjamaah dengan suaminya.
Daripada terus bersedih, Eliza bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Rencananya ia akan memasak telur dadar saja.
Eliza mengeluarkan dua buah telur dari dalam kulkas. Kemudian ia teringat, bahwa adik iparnya menginap. Eliza mengeluarkan sebutir lagi.
***
Revan sudah siap dengan kemeja kerjanya, dia sedang duduk berdua dengan istrinya di meja makan.
"Mana Kiera?" tanya Revan.
"Masih tidur, mungkin." Eliza menjawab ragu.
Revan menghela nafas berat, ia paham kebiasaan adiknya setelah clubing, bangun siang, bolos kuliah. Terkadang Revan merasa ia terlalu memanjakan Kiera. Gadis itu jadi seenaknya dan tidak terkendali. Revan berencana untuk membatasi penggunaan kartu kredit Kiera.
"Panggil dia." Revan memerintah.
Eliza menggeleng pelan. Dia takut kepada Kiera. Bisa-bisa Eliza disembur kalau nekat membangunkan gadis itu.
"Mas aja."
Revan memutar mata, dengan kesal ia berjalan ke kamar tamu. Tampak Kiera masih tidur dengan pulas. Revan segera membangunkan gadis itu dengan kasar.
"Bangun. Kuliah sana!"
Dengan malas Kiera membuka mata. "Apaan, sih, Kak? Masih subuh juga ...."
"Subuh kepalamu? Ini hampir jam delapan. Cepat mandi, sekalian aku antar ke kampus."
Kantor Revan memang searah dengan kampus Kiera. Gadis itu berkuliah di universitas swasta yang cukup bergengsi di kota ini. Revan merogoh kocek yang cukup dalam untuk membiayai kuliah Kiera. Makanya pria itu tidak mau rugi.
"Bolos sekali juga nggak papa kali, Kak." Kiera masih enggan untuk bangun.
"Oke. Terserah. Lanjutkan saja tidur selama kamu mau. Jangan harap aku transfer uang untuk kamu lagi." Revan bersiap untuk meninggalkan kamar tamu.
"Sejak menikah dia jadi ngeselin." Dengan bersungut-sungut Kiera bangun dan berjalan menuju kamar mandi.
Kiera hanya cuci muka sebentar, mau mandi juga percuma. Tidak ada baju ganti. Malas rasanya meminjam baju milik Eliza. Yang benar saja dia mau pakai baju kurung? Norak.
Kiera memandang malas ke arah makanan yang ada di meja. Padahal Eliza sudah menyiapkan roti untuknya. Barangkali Kiera tidak makan nasi.
"Setiap hari dia ngasih Kakak makanan seperti ini?" tanya Eliza kepada Revan. Pria itu tidak menjawab.
"Heh, gue yakin Kak Revan ngasih lo uang belanja lebih dari cukup. Lo kemanain uangnya? Lo pakai foya-foya, ya? Bisa-bisanya Kakak gue dikasih makan makanan penjara gini." Kiera berbicara dengan kurang ajarnya kepada Eliza.
"Kamu pernah dipenjara, Ki?" Revan yang semula diam, mulai bersuara.
"Kakak belain dia?" Kiera tidak percaya dengan sikap Revan yang banyak berubah.
"Bicara yang sopan, dia kakak iparmu." Revan berkata dengan santai sambil memeriksa ponselnya.
"Apa?" Kiera semakin kesal dengan pembelaan Revan terhadap Eliza.
Eliza merasa tidak nyaman dengan perdebatan kedua kakak beradik itu. Dia pun bersiap untuk pergi ke dapur.
"Mau kemana?" tanya Revan.
"Ak-aku ... udah selesai makan, Mas." Eliza menjawab terbata.
Revan melirik ke arah piring Eliza, nasinya masih tinggal setengah, begitu juga lauknya. "Tetap duduk di situ. Habiskan makananmu. Beras mahal."
Eliza pun menuruti perintah Revan, dia makan dengan amat perlahan. Kemudian Revan beralih menatap Kiera yang belum juga mulai sarapan.
"Berangkat sekarang saja. Aku ada meeting pagi ini." Revan berkata sambil memeriksa jam tangannya.
"Tapi, Kak ... aku belum mandi. Belum sarapan juga." Kiera merengek dengan manja.
"Itu urusanmu, Ki." Revan mengabaikan protes Kiera.
"Aku pasti dikira gembel kalau ke kampus pakai baju lusuh begini, Kak ...." Kiera masih terus merengek.
Revan mulai jengah dengan sikap adiknya. Ia kemudian berbicara kepada Eliza. "Tolong pinjami dia baju."
Dengan patuh Eliza segera berjalan ke kamarnya untuk mengambil baju.
"Enggak! Aku nggak mau pakai baju udik kayak gitu, kayak baju opa di Upin Ipin." Kiera menolak keras.
"Sampai kapan kamu bersikap seenaknya kayak gini, Ki? Pergi malam, pulang pagi, bolos kuliah. Kamu pikir bayar kuliah kamu pakai daun?" tanya Revan berusaha sabar.
"Kakak udah beda, sejak nikah sama dia. Jadi pelit!" Kiera malah semakin menjadi.
"Terserah kamu saja. Kalau kamu tidak mau menurut, jangan harap Kakak akan menuruti permintaan kamu. Mulai sekarang, kartu kredit kamu, Kakak blokir!" Revan segera pergi meninggalkan apartemennya, tanpa berpamitan kepada Eliza.
"Tapi, Kak ...." Kiera mencoba mengejar kakaknya sampai ke parkiran.
"Baiklah, Kak. Aku mau pergi ke kampus." Kiera menggedor kaca mobil Revan dengan panik. Gadis itu takut kehilangan kartu kreditnya.
"Masuk!" Revan berkata dengan dingin. Kiera segera menuruti ucapan Kakaknya, sebelum pria itu benar-benar marah.
Segera setelah Kiera masuk, Revan segera melajukan mobilnya dengan kencang.
***
Setelah kepergian kedua kakak beradik itu, Eliza segera bersiap untuk melakukan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga pada umumnya, yaitu bersih-bersih rumah.
Eliza segera masuk ke kamar tamu yang semalam ditempati Kiera. Kamar tamu itu dalam keadaan berantakan.
Saat hendak membersihkan tempat tidur, tidak sengaja Eliza menyenggol tas milik Kiera, hingga isinya berhamburan ke lantai.
Dengan panik, Eliza segera membereskan kekacauan yang dia buat. Saat buru-buru memasukkan barang-barang milik Kiera ke tas, matanya menangkap sebuah benda aneh.
Eliza menggeleng tidak yakin. Tangannya gemetar memungut benda itu. "Nggak mungkin. Apa ini? Kenapa Kiera membawa benda seperti ini?"
Eliza cukup syok dengan penemuannya. Gadis itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar tamu sambil mengetukkan ponsel ke dahinya.
"Kasih tau Mas Revan nggak, ya?"
***
Benda apaan, sih, Gaes? Bikin penasaran aja 🤣 ada yang bisa nebak, nggak?