Steven masuk kantor dengan wajah cemberut, sampai Soleh security merasa kemusuhan. Biasanya Steven selalu menyapa Soleh saat lewat di depannya. Pagi ini jangankan menyapa, melirik saja tidak. Pria itu terus saja berjalan ke arah lift khusus orang penting di kantor ini, yang boleh pakai cuma dua orang, yaitu Steven dan Revan, juga tamu-tamu perusahaan.
Melihat Steven sudah masuk kantor, Revan pun tersenyum senang. Dengan membawa setumpuk berkas, pria itu bergegas pergi ke ruangan Steven.
"Taroh aja situ. Ntar gue periksa." Steven berkata dengan nada datar.
Revan menjadi bertanya-tanya, kenapa Steven bersikap tidak seperti biasanya. "Lo kenapa? Pulang liburan kok kusut gitu?"
"Cuma capek aja." Steven menjawab singkat.
Revan tersenyum sambil berusaha meledek. "Makanya, jangan main terus. Hari esok kan masih ada. Gas pol terus, mentang-mentang pengantin baru."
"Kalau nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, silakan keluar. Gue mau kerja." Steven mengusir Revan secara halus.
"Baru liat, ada bos yang diusir karyawannya. Kayaknya gue sebagai bos nggak ada harga dirinya banget." Revan menggerutu kesal.
Steven mengabaikan Revan, pria itu mulai sibuk memeriksa berkas yang menumpuk. Sepertinya hari ini harus lembur. Baguslah, malas juga pulang ke rumah, malas bertemu Kiera. Sebenarnya ia masih marah karena masalah di villa kemarin.
"Ada masalah rumah tangga?" tebak Revan.
"Si Kiera itu ...." Steven tak sengaja keceplosan. Tapi kemudian dia keburu sadar, terus diam.
"Tuh kan! Bener dugaan gue. Dia bikin salah apa?"
"Nggak ada."
"Cerita aja, nggak papa. Daripada ngaruh ke kinerja lo. Kan jadi gue yang rugi." Revan memakasa, agak kepo juga.
"Bukan masalah penting." Steven masih menolak bercerita.
"Tapi lumayan menggangu kan? Udah, cerita aja, ntar gue cuekin hehe ...." Revan memeriksa arlojinya. "Gue masih ada waktu setengah jam."
"Kemarin dia berantem, sama preman di villa." Steven akhirnya bercerita. "Dan gue sakit ati banget, sama premannya."
"Si Kiera diapain?"
"Dikatain ...."
"Apa?"
"Lon ...."
"Terus kenapa lo marah sama si Kiera? Kan yang kurang ajar si premannya?" Revan bingung mendengar cerita Steven.
"Ya Kiera salah juga. Udah gue bilang berkali-kali, kalau pakai baju itu yang bener. Nggak pernah didengerin. Kalau pakai atasan tertutup, bawahnya kebuka. Bawah ketutup, atas kebuka, busui friendly gitu. Atas bawah ketutup, samping kebelah. Apa nggak pusing, gue sebagai suaminya? Gue takut ntar di akhirat di tanya-tanya, diminta pertanggungjawaban. Kan dia istri gue, tanggungan gue." Steven curhat panjang lebar.
"Untung ini cerita lo, bukan cerita gue. Bini gue mah baik, Solehah." Revan malah pamer.
Steven hanya bisa melengos, menyesal curhat kepada Revan. "Tau gitu, tadi gue diem aja."
"Sabarin aja, Bro. Kiera emang gitu wataknya. Enggak tau kenapa, dari dulu demen bikin masalah. Kayaknya lo harus lebih tegas sama dia. Pukul aja kalau nggak nurut. Gue nggak masalah kok."
"Lo nggak masalah. Gue yang bermasalah, kalau dia sampai laporin gue ke kantor polisi."
"Ya pukul pelan aja."
"Itu sih bukan mukul, tapi ngelus. Kasih saran yang bener dong!" Steven memutar mata malas.
Revan tampak berpikir keras sambil mengelus dagunya. "Gini aja. Lo umpetin semua bajunya."
