96

640 29 3
                                    

Di tempat reuni, Steven segera saja menjadi pusat perhatian. Membuat Kiera sedikit bangga. Ada gunanya juga bawa suami.

"Suami lo cakep, Ki. Dia nggak punya temen? Kenalin dong sama gue?" Teman Kiera yang bernama Ceisya berbisik di telinga Kiera.

"Ada. Teman suami gue adalah abang gue." Kiera menjawab sambil memakan pudingnya. Di sampingnya, Steven jadi salah tingkah gara-gara dipuji berlebihan.

"Udah kayak sinetron deh. Ya udah, siniin abang lo, biar gue gebet. Mumpung gue lagi vacum of power nih, nggak ada yang menjajah hati gue." Ceisya tersenyum genit.

"Masalahnya abang gue udah sold out, udah nikah dia. Malah bininya lagi hamil."

"Nggak jadi deh. Laki orang ternyata. Yang lain ada nggak? Temen laki lo nggak mungkin cuma seekor."

"Nggak ada. Laki gue orangnya introvert, anxiety, sama bipolar." Kiera menjawab asal.

"Emang laki lo nggak ada rencana nambah istri? Gue mau daftar ini."

"Bentar gue tanya, ya?" Kiera hendak menoleh ke arah Steven, tapi segera dicegah oleh Ceisya.

"Nggak usah lo tanya juga, pea! Gue cuma becanda." Ceisya mencubit paha Kiera.

Sementara Steven semakin risih mendengar percakapan Keira dan teman-temannya. Mana dia laki sendiri, seperti penyamun di sarang perawan.

"Seriusan. Kalau lo mau sama suami gue, ambil aja. Gue lelang."

"Sembarangan mulut lo! Ntar ada malaikat lewat aja ...." Ceisya mencubit lagi paha Kiera. Kali ini dengan tenaga penuh.

"Bukannya lo udah punya cowok? Yang kemarin pengusaha pop ice itu."

Ceisya menggeleng sedih. "Udah putus. Nggak direstui sama papa. Katanya masa depannya nggak cerah."

"Kata siapa? Coba lo hitung, harga pop es segelas lima ribu, kalau sehari setiap orang minum sekali, udah berapa? Penduduk Indonesia berapa sekarang? Bentar gue cari di Google ...." Kiera mengutak atik ponselnya.

"270 juta jiwa! Nggak usah semua deh, separuhnya aja. Em, sekitar 135 juta jiwa, kali lima ribu ...." Kiera tampak menghitung dengan serius.

"Nah, kan ... omsetnya sekitar 1. 350. 000. 000. 000 buset, banyak banget omsetnya! Cerah banget ini mah masa depannya, secerah masa depan anak UI." Kiera menunjukkan layar ponselnya di depan muka Ceisya.

Steven hanya memutar mata mendengar ucapan absurd istrinya. Steven jadi bertanya-tanya, berapa IQ Kiera?

Ceisya segera menoyor kepala Kiera. "Ya nggak bisa begitu, pea!"

"Itu duit semua, Sya! Bisa kaya tujuh turunan tujuh tanjakan lo!" Kiera masih ngotot.

"Ya nggak semua orang belanja es di pacar gue! Lo pikir orang jauh-jauh dari Papua, dari Sulawesi, datang ke sini cuma mau beli pop es?"

"Oh, iya ... hehe ...." Kiera malah cengar-cengir sambil menggaruk rambutnya.

"Gue heran, ada gitu, orang sepinter lo." Ceisya memandang iba ke arah Kiera.

"Terus, pacar lo yang satunya?" Kiera bertanya lagi. Kiera teringat Ceisya pernah cerita punya pacar cadangan bernama Satria. Biasa dipanggil bang Satt.

"Udah putus juga. Ternyata dia bohong sama gue. Ngakunya pengusaha properti, taunya kuli." Ceisya bercerita dengan malu. "Mana gue cinta berat sama dia, badannya bagus banget. Gue kira gara-gara sering nge-gym, taunya nguli."

"Loh, kenapa? Nguli juga oke kok. Jangan pernah meremehkan seorang kuli. Rumah orang aja dia bangun, apalagi rumah tangga bersamamu, ea ...." Kiera meledek Ceisya habis-habisan.

"Hina terus! Gue mah nggak papa. Prinsip gue, jadilah seperti tai ayam, walau di bawah, nggak ada yang berani menginjaknya." Ceisya berkata dengan pasrah.

Mendengar ucapan Ceisya, tawa Keira semakin membahana. Membuat Steven risih. "Lo ketawa, apa kesurupan, Ki?"

"Lagian lo nemu cowok modelan gitu darimana, sih, Sya? Random banget. Kesannya asal pungut aja." Keira bertanya penasaran.

"Kenal di jalan. Pernah juga gue pacaran sama cowok PLN yang mau mutus listrik di rumah gue."

"Apa? Gila lo!" Kiera tertawa dengan keras. "Kisah cinta lo harus dijadikan judul FTV, gue nggak mau tau!"

Diam-diam Steven memperhatikan Kiera tertawa lepas dari samping. Kiera tampak sangat cantik kalau tertawa seperti itu. Steven senang melihat Kiera bahagia.

Pokoknya Kiera yang sekarang beda sekali dengan yang di rumah. Kalau di rumah, boro-boro ketawa, bicara nadanya selalu mode nyolot.

"Sebenarnya jodoh gue ada di mana, ya? Gue takut ada sistem zonasi ...." Ceisya mengeluh lagi  sambil menopang dagunya.

"Ya artinya jodoh lo ada di sekitar kampung lo, jangan-jangan haji Samsudin? Kan dia duda 'tuh?"

"Kampret lo, Ki. Duda di kasih gue! Mending dudanya keren, muda, kaya. Ini mah, udah tua. Ibarat ayam dagingnya udah alot. Mana rambutnya kayak tukang es prindavan. Duda berformalin ini mah ...."

Kiera tertawa semakin kencang. "Ya Allah, bener-bener lo, ya ... perut gue sampai keram."

"Ayo pulang, Ki. Udah malem." Steven berbisik di telinga Kiera. Sedari tadi dia menahan malu, karena di tempat itu cuma Kiera yang paling rusuh.

"Dih, apa sih, Bang? Masih sore juga!" Kiera menolak untuk pulang.

"Besok gue kerja." Steven berbisik lagi.

"Pulang sono, Ki. Besok-besok kita ketemu lagi," usir Ceisya. Gadis itu tidak enak mendengar bisik-bisik sepasang suami istri di depannya.

Akhirnya dengan muka cemberut, Steven berhasil mengajak Kiera pulang.

"Lo deket banget sama Ceisya, ya?" tanya Steven saat dalam perjalanan pulang.

"Iya, kita temenan dari Paud." Kiera menjawab santai. "Anaknya enak diajak deep talk."

"Jangan deep talk sama orang yang kelihatan ceria. Semakin terang sinarnya, semakin gelap bayangannya. Ceisya itu menyimpan kesedihan yang dalam. Lo malah ngetawain melulu. Sebagai teman, lo harus peka, Ki."

Kiera memikirkan baik-baik ucapan Steven. Kiera tak menyangka, diam-diam Steven memperhatikan. Walau dari luar kelihatan cuek sejak tadi.

"Tapi sumpah deh, gue heran sama si Ceisya. Ada-ada aja ceritanya. Masa nyari cowok nggak ada yang bener. Pernah juga pacaran sama narapidana. Katanya cinlok waktu bantu emaknya di kantin penjara."

"Jangan deh. Nggak enak masuk penjara."

"Abang pernah? Kasus apa?"

"Nggak. Cuma jenguk tetangga."

"Kampret! Gue kira ...."

***

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang