Empat Tahun Lalu
Ryu Geun-hyung menatap cucu perempuannya. Wajahnya yang tirus, mulus tanpa kumis dan jenggot tak pernah terlihat sedingin ini, sekereng ini. Kobaran api kemarahan tampak bergumul di kedua bola matanya. Tiba-tiba saja dadanya naik-turun seolah sang pemilik tubuh mengalami sesak nafas yang teramat dahsyat.
"PLAAAAAAK!"
"Halabeoji!"
"Kakek!"
Seung-Ryong berseru kaget. Begitu juga dengan isteri dan ibunya.
Yoona tetap berdiri tegar meskipun pipinya baru saja ditampar sekeras mungkin oleh punggung tangan sang kakek. Batu permata yang menempel di kedua cincin yang dipakai oleh sang kakek meninggalkan bekas merah yang teramat perih di pipinya. Namun Yoona berusaha keras untuk tidak menangis. Ia hanya menundukkan kepala, tidak sanggup memandang kekecewaan yang tampak jelas di wajah kakeknya.
Geun-hyung mengangkat gagang tongkat kayu yang selama ini hanya digunakan olehnya untuk berjalan.
"PAAAAAK!" Tidak pelak lagi, tongkat yang terbuat dari kayu Aspen itu menghantam paha Yoona.
"Bruuuk!" Karena kakinya yang kena pukul, Yoona pun kehilangan keseimbangannya dan jatuh tersungkur. Sakitnya tidak terkira. Tongkat kakeknya cukup berat dan karena dihantamkan dengan begitu keras, kaki kiri Yoona menggeletar hebat menahan rasa nyeri.
"PAAAAAK! PAAAAAK! PAAAAAK!" Kakek Geun-hyung masih belum puas. Ditempelengkannya tongkat kayu miliknya ke tubuh sang cucu secara bertubi-tubi.
Yoona semakin terjerembap di atas lantai. Rasa sakit telah mendesak airmatanya untuk tumpah ruah membasahi wajah cantiknya. Paha, kaki, lengan, dan juga punggungnya tidak luput dari serangan tongkat sang kakek. Tapi Yoona pantang mengaduh. Sambil melindungi kepalanya, ia menggigit bibirnya keras-keras.
"Appa! Sudah, jangan pukul lagi!" Seung-Ryong menghalangi tubuh ayahnya. "Yoona itu perempuan! Appa mau membunuhnya?" Serunya geram sekaligus iba.
Ryu Geun-hyung membeliak kasar pada putera sulungnya. "Hukuman ini tidak seberapa untuk seorang wanita penzina."
Mata Yoona terasa panas dan basah mendengar cacian kakeknya. Seorang wanita penzina. Betapa perihnya kata-kata itu----jauh lebih menyiksa batinnya ketimbang hantaman tongkat kayu sang kakek.
"Appa, Appa tidak boleh bilang begitu." Seung-Ryong memelas.
"Lalu kamu mau sebut apa perempuan yang hamil di luar nikah?"
Seung-Ryong menelan ludah dan terdiam.
Kemarahan Kakek Geun-hyung membuatnya bersikap bengis kepada Yoona, cucu yang dahulu begitu ia sayangi. Cucu yang sejak kecil ia jaga dengan sepenuh hati. Cucu yang baru saja menghancurkan harga diri dan juga perasaannya.
Tadi pagi, ketika ia sedang mengawasi para tukang di bengkel furnitur miliknya di Busan, ia dihampiri oleh Yoo Haejin yang tergopoh-gopoh berlari menghampirinya.
"Nyonya Moonsook minta saya untuk menjemput Tuan pulang." Ujar Haejin tersengal-sengal. "Ada kabar penting dari Seoul."
Tanpa bertanya apa gerangan yang terjadi, Geun-hyung tergesa-gesa pulang. Di ruang tamu, ia melihat isterinya sedang menangis tersedu-sedu sambil dipegangi oleh Yeongja.
"Ada apa?" Beliaknya cemas. Terakhir kali isterinya menangis seperti ini adalah ketika ibu Yoona----anak ketiganya----meninggal dunia.
Nenek Moonsook menoleh sang suami. Lelehan airmata tak juga berhenti mengalir dari sepasang mata kelabu miliknya. "Yoona. Yoona."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE THAT COULD NEVER BE [VYOON FANFIC]
FanfictionLim Yoona melakukan kesalahan terbesarnya saat ia bertemu dengan Kim Taehyung dalam sebuah pendakian ke kaki Gunung Everest. Setelah menghabiskan waktu bersama di sebuah negeri yang begitu asing, Yoona dan Taehyung terlibat dalam sebuah hubungan asm...