BAB 44

92 24 22
                                    

Empat Tahun Lalu

Tubuh Yoona seolah kehilangan bobotnya begitu Paman Seungsoo menjemputnya di toko dan mengabarkan bahwa kakeknya baru saja meninggal dunia.

Namun isak tangis Yoona tidak sebanding dengan perasaan berdosa yang menggunung di hatinya saat ia melihat sendiri jenazah sang kakek yang sudah dimandikan dan dibaringkan di dalam peti mati.

Kakeknya, seorang lelaki pendiam yang memiliki sorot mata setajam elang, kini terbujur kaku di ruang keluarga rumah Ryu di Busan. Puluhan pelayat memenuhi halaman serta ruang tamu kediaman Keluarga Ryu.

"Appa!!!" Bibi Eunseo----adik bungsu mendiang ibu Yoona tak henti-hentinya memeluk jenazah sang ayah sambil meraung-raung berurai airmata.

"Bersabarlah, Sayang. Bersabarlah." Suami Bibi Eunseo berusaha untuk menenangkan sang isteri yang masih belum mau berhenti menangis.

"Yeobo...." Tertatih-tatih, Yoona dan Bibi Yeongja memapah Nenek Moonsook untuk menghampiri jenazah Kakek Geun-hyung.

"Yeobo....." Dengan tabah, nenek Yoona berdiri di samping peti jasad suaminya. Ia menatap tubuh serta wajah suaminya.

Raut muka Ryu Geun-hyung yang selama ini selalu menyorot garang, kini tampak lembut, bersih, tapi juga menyiratkan segumpal rasa sedih dan sesal.

"Istirahat yang tenang, Yeobo." Nenek Yoona mengecup dan membelai wajah mendiang suaminya.

"Jadi bagaimana, Hwan? Benar tadi siang kakekmu ribut dengan  Lee Jongwon?" Paman Seungsoo menanyai putera sulungnya yang tengah berdiri di dekat anak tangga.

"Iya, Pa. Tadi halabeoji dan saya sedang berada di gereja. Sewaktu habis misa, tahu-tahu Tuan Lee mendekati halabeoji, lalu dia menghina-hina halabeoji."

"Menghina apa?" Seungsoo membelalakkan matanya. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat ada orang yang berani berkata keras pada almarhum ayahnya, apalagi sampai menghina-hina segala. Kalau memang benar apa yang dikatakan oleh Deokhwan, ia harus menuntut balas.

Deokhwan melirik jenazah sang kakek dan juga Yoona. Ia menggeleng.

"Jujur, Hwan. Tuan Lee bilang apa?" Bibi Eunseo ikut menoleh. Ia juga tidak akan terima jika memang sebelum meninggal, ayahnya sempat dihina oleh orang lain.

Deokhwan menggumam tak jelas.

"Bicara yang jelas!" Hardik Seungsoo. "Kamu jangan takut. Siapa sih si Lee Jongwon itu? Cuma pejabat kampung. Keluarga kita sepuluh kali lebih kaya dan lebih ningrat daripada dia." Seungsoo melotot tajam sampai-sampai bola matanya hampir meloncat keluar. "Dia ngomong apa?"

"Enggak tahu, Pa. Saya takut salah." Deokhwan berusaha untuk berkelit.

"Yang benar kamu. Jangan bohong!" Sentak ayahnya.

Deokhwan mendecah sambil garuk-garuk kepala. "Paman Haejin juga ada di sana. Tanya saja sama dia." Ujarnya mencoba untuk melepaskan diri dari situasi yang membuatnya serba salah itu.

"Mana si Yoo Haejin? Panggil sini." Perintah Seungsoo entah kepada siapa.

Tak begitu lama, Haejin datang terbungkuk-bungkuk.

"Haejin, apa benar tadi kamu melihat Lee Jongwon menghina-hina ayahku?" Seungsoo terlihat sedang  menahan emosinya.

"Benar, Tuan."

"Menghina apa? Kenapa si Jongwon ini sampai berani menghina appa?" Jika tidak disabar-sabarkan, sudah sejak tadi Seungsoo mencari Lee Jongwon dan menghajar lelaki tua itu.

"Maaf, Tuan Seungsoo," kali ini giliran Yoo Haejin yang terlihat seperti orang yang sedang tertusuk tulang ikan di dalam tenggorokannya, "saya enggak berani cerita di sini."

LOVE THAT COULD NEVER BE [VYOON FANFIC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang