BAB 113

147 18 51
                                    

7 Tahun Kemudian

"Taeyoo! Narae! Yoomi! Cepat turun!" Sambil menaruh semua mangkuk nasi di atas meja makan, Yoona berseru memanggil ketiga anaknya.

Terdengar suara gaduh dari lantai dua, namun tak ada satupun dari ketiga bocah itu yang menuruni anak tangga.

Yoona mendengus gemas. Ia cepat-cepat berjalan menghampiri anak tangga dan berseru keras-keras, "Taeyoo! Narae! Yoomi! Jangan main ponsel saja. Cepat turun dan sarapan! Lihat sudah jam berapa sekarang? Jangan sampai Mama naik ke atas dan menyita ponsel kalian."

Satu detik kemudian ketiga anak nakal itu serempak berlarian menuruni anak tangga.

"Mama jangan marah-marah, nanti mukanya penuh keriput." Taeyoo memamerkan cengiran nakal yang menyerupai seringai ayahnya.

Yoomi dan Narae cekikikan di belakang kakak sulung mereka.

Yoona menyingsingkan lengan bajunya dan menyepak pantat Taeyoo, Narae dan Yoomi secara bergantian.

"Aduh!" Seru ketiganya.

"Mana ponsel kalian?" Yoona menengadahkan tangan kanannya.

"Jangan disita, Mam." Yoomi memasang wajah memelas.

"Iya, jangan." Narae menggeleng sambil menyembunyikan ponselnya di balik punggung.

"Kalau tidak mau disita, kenapa kalian tidak segera turun begitu Mama panggil?" Delik Yoona. "Sudah begitu, kalian masih sempat-sempatnya mengejek Mama."

Yoomi dan Narae nyengir sambil saling melirik. "Kami enggak mengejek Mama. Taeyoo oppa yang ejek." Ujar keduanya melimpahkan kesalahan kepada sang kakak.

Yoona melotot pada Taeyeoo. "Memang ini biang keroknya." Ia menjewer telinga Taeyoo. Tidak keras memang, tapi cukup untuk membuat anak lelakinya itu mengaduh.

"Ampun, Mam. Taeyoo cuma meniru Papa." Ringis si sulung.

Yoona mendengus. "Mana Papa kalian? Kenapa tidak ikut turun? Apa dia sudah tidak mau sarapan lagi? Biar besok kalian masak sendiri-sendiri saja. Mama enggak mau mengerjakan apa-apa lagi."

"Aih, Mama. Jangan marah-marah begitu. Nanti cantiknya jadi hilang." Yoomi memeluk dan mencium ibunya.

Yoona tersenyum masam. "Kamu meniru omongan papamu juga, ya?" Cubitnya.

"Iya." Ringis Yoomi. Bocah delapan tahun itu menyeringai lucu.

Yoona paling lemah melihat ekspresi lugu anak-anaknya. Iapun mendengus dan menyodorkan pipinya. "Yoomi belum cium Mama." Ujarnya.

"Cuup!" Dengan manja, si bungsu mengecup pipi sang ibu.

"Narae juga belum cium Mama." Lirik Yoona.

Tanpa ragu Narae mencium kedua pipi Yoona dan memeluknya. "Narae sayang Mama." Celetuknya sambil memamerkan senyum patennya yang langsung melumerkan hati sang ibu.

Yoona mengelus kepala kedua anak perempuannya itu. Ia kemudian menoleh Taeyoo yang sedang mengendap-endap ke ruang makan. "Eh, Taeyoo, mau ke mana? Kamu belum setor ciuman sama Mama."

Taeyoo nyengir. "Taeyoo sudah gede, Ma."

"Lalu? Kamu merasa tidak perlu mencium Mama lagi?"

Melihat wajah ibunya yang disetel galak, Taeyoo tersenyum-senyum konyol. Jangan sampai ibunya itu ambek dan menyita ponselnya. "Taeyoo enggak bilang begitu. Tapi apa Mama enggak malu cium Taeyoo? Taeyoo kan anak laki-laki."

Yoona menarik anak lelakinya dan menciumi wajahnya sepuas-puasnya----membuat bocah sepuluh tahun itu gelagapan. "Sampai kapanpun Mama enggak akan pernah malu mencium Taeyoo."

LOVE THAT COULD NEVER BE [VYOON FANFIC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang