BAB 46

105 22 23
                                    

Dua Tahun Lalu

Sudah tiga hari ini Kitae rewel. Meskipun sudah digendong, diberi ASI dan juga makanan kesukaannya, ia masih terus saja menangis. Pada hari keempat, bayi berusia empat belas bulan itu terkena demam dan flu.

Diantar oleh Deokhwan, Yoona membawa Kitae ke dokter anak. Menurut sang dokter, Kitae hanya demam biasa, dalam beberapa hari juga bocah itu akan segera sembuh. Setelah diberi obat, merekapun dipersilahkan untuk pulang.

Namun Yoona tidak juga merasa lega. Panas tubuh Kitae tidak turun-turun. Anak itu malah sering muntah dan tangisannya semakin menjadi-jadi.

"Yoona, bawa Kitae ke dokter lagi." Jam dua malam, Nenek Moonsook membuka pintu kamar tidur Yoona. "Sepertinya Kitae bukan cuma demam biasa. Nenek benar-benar khawatir. Tidak biasanya anak demam menangisnya sekejer dan selama ini." Nenek Moonsook mengecek suhu tubuh cicitnya dengan telapak tangannya. "Aduh, panas sekali."

Yoona yang sejak tadi menggendong Kitae tanpa sekalipun beristirahat malah hendak ikut menangis melihat buah hatinya menangis kejang-kejang.

"Nenek telepon Pak Bongsoo sekarang biar dia antar kamu ke rumah sakit, ya."

"Enggak usah telepon Paman Bongsoo, Nek. Biar Yoon sendiri yang menyetir mobil."

"Baiklah kalau kamu sanggup menyetir dalam keadaan kalut seperti ini, tapi Nenek dan Yeongja ikut kamu." Nenek mengambil alih Kitae dari tangan Yoona karena cucunya itu mesti mengganti piyama yang dia pakai. "Euh, sayang Kitae. Nenek sayang Kitae. Cup cup. Jangan nangis, anak baik. Anak saleh. Anak tampan Nenek." Oh Moonsook menimang-nimang cicitnya dengan perasaan sedih. Sesekali ia ciumi ubun2 sang cicit. "Yoona, kenapa kepala Kitae ada benjolan begini?" Serunya kaget.

Sambil menukar pakaiannya, Yoona menoleh. Dengan wajah muram ia menjawab, "iya, Nek. Baru sekarang benjolannya muncul."

"Kenapa Kitae bisa benjol begini? Apa kepalanya terantuk sesuatu?"

Yoona menggeleng. Ia sendiri tidak tahu kenapa benjolan itu bisa tiba-tiba saja muncul di kepala anaknya.

Setengah jam kemudian, Kitae sudah berada di atas ranjang IGD ditemani oleh buyut, ibu, dan juga Bibi Yeongja.

"Melihat gejalanya, saya khawatir Kitae menderita Meningitis." Dokter IGD yang baru saja memeriksa Kitae melepaskan stetoskopnya.

"M-meningitis, Dok?" Mata Yoona merah karena sudah seminggu ini ia kurang tidur dan juga karena merasa syok mendengar diagnosis sang dokter barusan. Yoona tahu betapa berbahayanya penyakit meningitis.

Sang dokter mengangguk. "Saya takutnya begitu, tapi kita harus cek lab, CT Scan, dan MRI untuk lebih memastikan lagi diagnosisnya. Untuk malam ini, Kitae harus dirawat di sini."

Yoona langsung mengelus dan menciumi kening Kitae. Airmatanya berlinang melihat kondisi sang anak. "Sembuh ya, Sayang. Kitae kuat, kok. Kitae pasti sembuh." Ia membenamkan kepalanya ke atas dada Kitae dan terisak pedih. Yoona berdoa agar penyakit yang diderita oleh anaknya bukanlah Meningitis. Walaupun bukan seorang dokter, ia tahu bahaya apa yang mengancam nyawa Kitae jika memang benar anaknya itu menderita Meningitis.

Setelah semua hasil lab keluar, secara bergantian, Kitae dikunjungi oleh dokter anak, dokter penyakit dalam, dan juga dokter syaraf. Bayi malang itu telah divonis positif menderita Meningitis atau radang selaput otak.

Pada hari ketujuh, Kitae tidak lagi menangis kesakitan. Ia menjadi sering tidur dan sulit untuk dibangunkan.

"Saya khawatir, Kitae sudah kehilangan kesadarannya." Dr. Jang Soonjae menghela nafas sambil menatap bayi empat belas bulan yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

LOVE THAT COULD NEVER BE [VYOON FANFIC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang