If You Love Me Let Me Go

909 35 2
                                    

《Stony》

A/N: It's been a while. Okay, kalian ingat part yang Steve meninggal setelah kejadian Civil War? Well, ini bisa dibilang sebagai part 2 nya.

Enjoy all... oh, and don't expect of much words.

~~~

Sudah 1 bulan. 1 bulan setelah kematian orang yang Tony sayangi. Memang, Steve telah menghianatinya dan memilih Bucky daripada dirinya. Tapi... apa rasanya benar untuk tetap membenci orang yang sudah tiada? Apalagi ketika team Cap percaya bahwa Steve tidak tahu apa-apa soal kematian kedua orang tua Tony. Semua itu membebani pikiran Tony. Dia ingin memarahi dirinya sendiri, tetapi untuk apa? Sebuah nyawa sudah terenggut dan itu semua karenanya. Tony tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Tidak setelah apa yang ia lakukan.

Dia sengaja mengunci dirinya di lab nya dengan secangkir kopi yang selalu ia isi ulang berkali-kali serta 3 lusin donat yang tersedia dimeja kerjanya. Wajahnya sangat kacau. Terlihat tidak sehat serta kelopak mata yang bengkak. Dia tidak bisa berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan setiap memori kecil yang ia ingat perihal Steve selalu membuatnya sakit kepala. Suara gentle nya, senyuman manisnya, sentuhannya, semua terekam jelas diingatan Tony. Bahkan ketika Steve sudah tiada, rasanya semua itu masih ada di kepala, hati, dan terasa di kulitnya. Baginya, tak ada yang bisa menggantikan Super Soilder nya, yaitu Captain Rogers itu sendiri.

Rhodey datang dan membobol masuk kedalam lab Tony. Ya, tidak heran sih, karena yang tahu sandi keamanannya adalah Steve, Pepper, Rhodey, dan Bruce. Setidaknya, masih ada yang khawatir padanya kan?

Rhodey berjalan perlahan menuju meja kerja Tony. Dirinya pun berusaha membuat Tony menatapnya walau Tony masih berusaha menghindar. Ia tidak mau memperlihatkan wajah kusutnya pada sahabatnya ini, karena ia yakin Rhodey akan semakin khawatir. Tapi... kenapa Tony bertindak seolah tidak kenal Rhodey? Com' on, that's Rhodes right? Dia akan memutar kursi kerja Tony lalu memaksa Tony agar membalikkan wajahnya padanya- menatap langsung ke matanya.

"What do you want?" Tanya Tony dengan ketusnya. Rhodey tidak mempermasalahkannya. At least, he still Tony Stark.

"You sleep." Jawabnya singkat. Tony hanya menghela nafasnya sambil memijat sedikit pelipisnya. Tidak melihat ini datang?

"Aku tidak bisa Rhodes. I have work to do." Jawab Tony sambil kembali memutar kursinya dengan tujuan agar terhindar dari tatapan intense mengerikan sahabatnya itu.

"Jika kau punya pekerjaan, dan kau tidak tidur dari kemarin, pastinya kau sudah selesai kan? Pekerjaan tidak datang tiap detik seperti air mengalir." Tony tidak bisa menghiraukan yang itu. He's got point right? Tony menyerah. Ia pun bangkit dari kursi kerjanya lalu berjalan menuju mesin kopi yang terpapang tidak jauh dari meja kerjanya. Lebih seperti... pantry kecil yang memang sengaja disediakan. Ada beberapa snack juga yang bebas Bruce maupun Tony ambil. "Huft... listen Tony. Aku tahu semua itu memukul mu. Tapi kau tidak bisa terus begini. Dia tidak akan senang melihat kau seperti ini. If you love himthen let him go." Tony masih tidak bisa berargumen seperti ini. Dia menahan wajahnya agar tidak terlihat seperti akan menangis. Walaupun begitu Rhodey tahu itu. Mata Tony mulai berair bagai keran yang tak bisa tertutup. Sekali kedip dari matanya saja sudah bisa mengalirkan dua bulir air mata ke pipinya. Rhodey langsung berjalan perlahan, mendekat kearah Tony. Dipeluknya pun sahabatnya itu yang lebih berbau kafein.

"I can't. It's my fault."

"That's his choice." Lagi dan lagi, Tony tidak bisa berargumen tentang yang itu. Sahabatnya yang satu ini memang sangat pintar mengambil kalimat yang tepat untuk berdebat. Tony melepaskan pelukannya dan menatap Rhodey langsung ke matanya.

"Jika aku tidak memancing semua ini, pasti dia masih hidup. Aku yang membuatnya depresi. Aku yang memberikan semua masalah ini. Dia hanya melakukan apa yang menurutnya benar right?" Rhodey menatapnya dengan tatapan bingung. Lebih seperti, ia tidak mengerti apa yang Tony bicarakan ini.

"I didn't say he was kill himself. He was killed." Jawab Rhodey. Tony pun mengerutkan dahinya. Well, dia memang tidak mendengar alasan apapun mengenai kematian Steve. Hanya saja, setelah pemakaman, Bucky, Natasha, dan Sam terlihat seperti burung gagak yang terusik. Mereka bahkan belum kembali setelah 1 bulan itu. Kenapa tidak Tony pikirkan itu sebelumnya.

"Di-dibunuh?" Rhodey hanya mengangguk perlahan.

"Kita tidak tahu tepatnya siapa yang membunuhnya. Dia yang mencalonkan diri untuk mengikuti misi berbahaya itu dan... yeah, you know. Team Cap menutupi hal ini. Mungkin atas perintah atau arahan Captain. But  we just can hope they were fine right?" Tony sekarang yang balik mengangguk. Ternyata selama ini Captain dibunuh. By who? Semua ini benar-benar membunuh pikiran Tony. Tony pun mencoba untuk duduk di salah satu kursi yang terlihat kosong dihadapannya. Dia bahkan tidak bisa menopang dirinya sendiri. Sungguh menyedihkan kan? Rhodey hanya bisa mencoba menenangkan Tony dan membuatnya terhindar dari semua pikiran-pikiran mengenai kematian Steve yang hanya bisa membuat pikirannya terusik. Tony bisa sakit jika dia terus terjebak di masa lalu. No one wants that.

.
.
.

Angin musim gugur terasa sangat menyejukkan. Apalagi ketika ia berbaring di atas rumput hijau dibawah pohon besar yang mulai menjatuhkan daun-daunnya ke rumput. Terasa sangat menenangkan kan? Udara tepat untuk suasana yang tepat. Dia hanya bisa menutup matanya sambil merasakan daun-daun yang mulai menari-nari mengikuti arahan angin. Ditengah momen indah menyejukkan itu, seseorang terasa memanggil namanya.

Steve...

Dia tidak tahu siapa itu. Bahkan suaranya terdengar tidak familiar. Tidak- tidak! Lebih tepatnya... seperti Deja Vu. Tapi siapa itu? Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya, seolah masa bodo dengan suara itu. Tetapi suara itu kembali lagi. Seperti bayang-bayang malaikat yang mencoba mengatakan sesuatu padanya.

Steve...

Dia membuka matanya, menampilkan ocean eyes yang dimilikinya. Sepasang mata biru sempurna dengan sedikit kehijauan disana. Dia bangun dari tidurnya lalu memandang kesekitarnya, berharap menemuka orang yang yang memanggilnya. Tetapi sayangnya, yang ia temukan hanyalah padang rumput luas yang sepi dan tidak ada siapapun.

Steve...

Suara itu semakin dekat kearahnya. Ia pun membalikkan badannya. Dirinya agak melompat kebelakang ketika dirinya berhadapan dengan seseorang di depannya. Tapi dia tidak takut. Dia tidak khawatir. Dia tahu siapa orang ini. Tangannya bergetar, belum lagi dengan pandangan matanya yang tak fokus. Seorang wanita paruh baya namun tetap cantik terlihat di hadapannya. Wajahnya tidak begitu keriput, dan senyumannya masih seindah yang ia ingat. Itu ibunya, Sarah Rogers. Tanpa ia sadari, air matanya terjun begitu saja dari pelupuk matanya. Senyuman yang sedari tadi ia tahan akhirnya terpampang. Dia sangat merindukan ibunya. Ia berjalan perlahan mendekati wanita itu dan memeluknya seerat yang ia bisa- tak ingin melepaskannya pergi begitu saja.

"I miss u mom. I love u." Hanya itu yang bisa pria itu katakan dengan lirih. Ibunya mengerti. Ia pun mengelus punggung putranya perlahan, memberikan kedamaian dan rasa puas pada putranya.

"Me too baby. I love you too, Steven Grant Rogers. You're save, the war is over. We can go home."

~~~

Gak ngerti ini part fungsinya apa :D

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang