77.

639 30 15
                                    

Dantae belum berani kembali ke balkon apalagi melangkah keluar dari apartemennya setelah kejadian tadi. Dirinya masih terlalu syok. Susah-susah dia mengganti nada bicaranya seperti orang dicekik, tapi Suryeon tahu hanya dari cincinnya saja.

"Bukankah Suryeon yang seharusnya takut saat aku di sini? Mengapa jadi aku yang bersembunyi?" Dantae menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki yang ia tekuk. Dirinya bersandar di dinding kamar, berharap bisa mendengar suara Suryeon. Tapi tak terdengar apa-pun. Suara vakum juga sudah tidak ada.

"Kenapa aku jadi bingung begini?"

Menatap ke arah jendela, langit sudah berubah warna menjadi lebih jingga, menandakan waktu sudah menjelang sore.

"Karena sudah terlanjur..."

Dantae berdiri dari duduk merenungnya, setelah satu tarikan nafas, Dantae membuka pintu dan melompat menuju balkon Suryeon. Seperti apa yang sudah Suryeon larang. Larangan Suryeon membuat Dantae tertantang.

"Apa boleh buat selain menemuinya."

Dengan pelahan, berusaha tidak menimbulkan suara apa pun, Dantae membuka pintu balkon. Hebatnya, Suryeon masih tidak juga mengunci pintu itu meski tahu akan ada pencuri yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti sekarang.

Mengendap-endap, Dantae mendekati Suryeon yang sedang memotong sayur-sayuran. Jadi ini alasannya apartemen begitu hening.

"Maafkan aku," ucap Dantae langsung setelah dirinya memberikan pelukan dari belakang untuk Suryeon.

"Oppa, sudah kukatakan jangan bertindak seperti pencuri. Tolong lepaskan!" Suryeon hanya berkata-kata saja, tanpa berusaha melepaskan lingkaran tangan Dantae. Mulutnya mengatakan bahwa ia menolak, padahal hatinya mengatakan kalau Suryeon sangat rindu pelukan hangat dari Dantae.

"Masalah obat itu, aku benar-benar minta maaf. Saat itu aku ingin memilikimu. Menjadikan dirimu satu-satunya untukku. Sehingga kau tidak akan melirik laki-laki lain...."

Suryeon memotong perkataan Dantae, "Kalau kau percaya padaku, kau tidak mungkin melakukan itu, oppa. Aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Mana mungkin aku melirik pria lain."

"A-aku begitu takut kau akan pergi meninggalkanku kalau kita tidak saling terikat."

Suryeon jengah juga dengan pemikiran Dantae, "Buktinya aku meninggalkanmu, oppa. Karena kau melakukan hal seperti itu. Bukan karena laki-laki lain."

"Shim Suryeon! Tidak. Ini terakhir kalinya. Berhenti membuatku tersiksa. Aku bisa menjadi gila dan mati jika tidak melihatmu."

"Itu berlebihan, oppa."

"Aku tidak berlebihan."

Dantae menangkap tangan Suryeon yang sedang memegang pisau, diarahkannya pisau itu ke pergalangan tangannya sendiri. Berniat membuat sayatan di sana.

"OPPA KAU GILA!"

Suryeon melepas pisaunya begitu saja hingga jatuh ke tempat mencuci piring. Dengan gerakan buru-buru, Suryeon memutar badannya kemudian memukul dada Dantae berkali-kali dengan air mata yang mulai mengalir menuruni wajahnya.

"Kau gila! Kau tidak waras! Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau itu terjadi pada, oppa."

Dantae membiarkan Suryeon memukulinya. Dirinya pantas mendapatkan semua itu. Setelah pukulan itu melemah, barulah Dantae memeluk Suryeon. Membiarkan jeritan tangisan itu teredam di balik dada Dantae.

"Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Dan aku akan dengan senang hati bertanggung jawab penuh pada si kembar."

Suryeon bisa menghajarnya kalau tiga kata itu terdengar dari mulutnya.

Love Disorder ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang