Imam. Gelar tertinggi buat laki-laki adalah menjadi Imam. Gelar sekaligus tantangan dan beban tanggung jawab yang enggak main-main. Gak usah yang heboh-heboh jadi Imam rumah tangga, jadi Imam sholat jamaah yang cuman berduaan sama temen di kantor aja gue suka deg-degan. Takut udah jadi Imam, eh AL-Fatiha aja kepleset.
Tapi menjadi Imam itu udah kayak fitrah buat laki-laki.
Sebuah gelar yang otomatis tersandang sempurna di bahu dan mau gak mau sebagai laki-laki ya harus belajar. Yang entah gimana cara belajarnya? Gue pribadi enggak tahu.
Lagi-lagi gue masih gagal memahami definisi dari Imam itu sendiri. Sebenarnya apa yang diharapkan orang, dari sosok seorang Imam? Karena selama ini yang gue paham ya, setiap laki-laki adalah Imam di keluarga. Sepeninggal Papa otomatis gue Imam di rumah. Sejak menikah, otomatis gue Imam juga di rumah tangga gue. Apalagi nanti ada anak, otomatis gue jadi Imam dengan jumlah makmum yang lebih banyak lagi.
Gue gak boleh bahkan gak bisa menolak kenyataan itu. Mau ngumpet di kolong paling sempit sekalipun, gak akan membuat kenyataan gue sekarang seorang Imam itu jadi hilang. Bahkan ketika kita menceraikan istri kita aja, kita tetap bakalan jadi Imam anak-anak di dalam pernikahan kita.
Jadi, dari pada lari, mendingan gue berusaha paham.
Sayangnya, gue suka clueless tentang gimana cara kerja seorang Imam yang sebenarnya. Kadang suka pingin menyayangkan nasib gue yang harus kehilangan sosok Imam yang bisa gue jadikan pegangan. Gue sudah kehilangan sosok itu, di detik Papa pulang bawa Gendis.
Belajar dari Om Akhdan dan lain-lainpun, gue gak bisa setiap saat kan? Kami gak tinggal bareng dan gak se intens itu juga ngobrol. Beda lah, rasanya kalau dibandingkan lo bisa belajar dari sosok ayah lo sendiri. Lo bisa bebas berinteraksi hampir setiap hari, melihat langsung gimana praktiknya dan ngobrol bahkan mungkin curhat. Kata siapa laki-laki gak butuh curhat?
Laki-laki juga manusia dan butuh tempat curhat. Dan tempat curhat gak bisa melulu sama istri. Karena kadang ada beberapa hal, yang kalau dicurhatin ke istri nanti malah jadinya berantem.
Tapi sayangnya, gue gak punya tempat curhat selain istri gue. Bukan gue menyesali istri gue siapa, ya. Tapi gue memang berharap ada sosok lain (bukan yang bisa mengarahkan ke perselingkuhan pastinya) yang bisa jadi teman ngobrol gue. Dalam artian.... yah, mungkin yang gue maksud adalah sosok seorang ayah.
Mas Andra memang tempat curhat gue. Saking tempat curhanya dia sampai suka gumoh tiap gue satronin buat curhat. Sok gak mau, tapi akhirnya tausiyah juga. Tapi tetap aja, pada akhirnya gue sama Mas Andra ya punya kehidupan masing-masing yang harus diutamakan. Sejak nikah ada rasa sungkan juga mau curhat sama dia tentang, gimana clueless nya gue sebagai Imam.
Jadi Imam pas gak ada masalah apa-apa mungkin rasanya memang gitu-gitu aja. Ngajak ngaji, ngajak sholat, ngingetin yang baik-baik dan syukur alhamdulillahnya, Ola juga bukan tipikal membangkang. Saking nurutnya Ola jadi makmum, jadi gue rasanya ya, bisa-bisa aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLAGYAN ( BE US AGAINST THE WORLD )
RomanceWARNING! ADULT CONTENT. 21+ READERS ONLY! Setelah kamu ketemu dengan Perfect Match, terus apa? Dear Viola Kirana Salasabila, will you keep dancing with me, you and me, be us against the world. Karena menikah itu, adalah selamat menempuh hidup baru...