WARNING! ADULT CONTENT. 21+ READERS ONLY!
Setelah kamu ketemu dengan Perfect Match, terus apa?
Dear Viola Kirana Salasabila, will you keep dancing with me, you and me, be us against the world.
Karena menikah itu, adalah selamat menempuh hidup baru...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Puas memutari Jogja, sampai Gyan yang kayaknya lagi kebawa suasana hati banget ini, malah ajak kita muter – muter alun – alun Jogja. Ngajakin aku untuk naik mobil hias yang completely manual gak ada maticnya. "Yah mas... nggowes." Rengekku sambi manyun. Gyan yang udah siap bayar ke mas – mas penjaganya hanya ketawa "Halah. Ujung – ujungnya juga aku yang nggowes, kamu cuman aksi nengkrengin kaki di pedal." Jawabnya santai "Satu ya mas." Gyan mengangsurkan sejumlah uang dan aku hanya bisa pasrah ngikut.
Aku akhirnya pasrah naik mobil hias, walau memang pada prakteknya ya Gyan yang gowes. Aku bantuh siiih. Tipis – tipis doang tapinya hahaha. Gyan terus menggenggam tanganku dan jujur memang kami menikmati muter – muter pakai mobil hias ini.
Aku menatap lekat wajah Gyan dari samping. Ganteng? So pasti. Suaminya Ola...
Tapi yang jelas, Gyan kayak legaa banget. Yang aku perkirakan sih, Gyan lega akhirnya keturutan ke Guest house itu. "Kapan – kapan, kalau ke Jogja. Kita gak usah nginap hotel kali ya, mas?" Tanyaku tiba – tiba dan Gyan langsung nengok "Guest house tadi, tempatnya enak. Hawanya juga adem. Mungkin karena arsitektur khas Belanda yang memang selalu ngasih hawa adem ya? Aku selalu suka gaya arsitektur jaman Belanda, anginnya tuh bisa sepoi – sepoi gitu."
Gyan tersenyum sambil mengangguk "Bisa. Iya, kapan – kapan kita nginap sana." Jawabnya dan aku meremas lembut tangan Gyan "Apa yang ada di pikiran kamu sekarang?" tanyaku. Aku selalu penasaran dengan apa yang ada di pikiran Gyan. Gyan sebenarnya bukan tipe pancur, pancing dikit curhat. Dia agak harus di senggol dan di pancing.
Dan belajar dari kesalahan, aku mendingan rajin nyenggol dari pada dia curhat sama yang lain. "Entahlah, yang." Jawabnya sambil akhirnya kami selesai menggowes mobil hias ini. Kakiku pegel juga walau aku cuman nyumbang gowes tipis – tipis. Tapi Gyan kayaknya baik – baik aja.
Tunggu aja nanti malam, kalau bilang 'Yaang, kangen.' Berarti kakinya gak apa – apa. Asal jangan pagi – pagi aku di suruh pijitin lagi aja.
Kami berjalan berdua menyusuri jalanan Jogja sambil bergandengan. Om tante gak mau kalah sama kerumuman dedek gemets Jogja yang lagi pacaran ini dong. Kami gak boleh kalah mesra sama kawula muda.
Eh laki gue mah muda, gue yang tuir. Aah sedih, Olanya.
"Kenapa entahlah?" Tanyaku sambil kami masih bergandengan. Gyan diam dan terus berjalan. Pikirannya tuh, kayak lagi kemana – mana. "Ada yang kamu takutin gak yang, setelah kita nikah? Kayak, kamu takut bakalan jadi orang yang kayak gimana?" Tanya Gyan dan aku mengendikan bahu.
Jujur ketakutanku saat ini cuman satu, gak bisa ngasih Gyan anak. Gak tahu kenapa aku parno banget itu. Entahlah, kita hidup di lingkungan yang perempuan gak bisa ngasih anak itu adalah pembawa sial. Aib rumah tangga dan memalukan suami.