18: First Met

441 28 3
                                    

Kenapa aku dibawa ke sini? Papah udah gak sayang aku ya? Papah suruh aku pergi juga seperti Reno dan Rey?

Aku gak tahu salah aku apa. Kenapa mereka marah sama aku? Kenapa juga aku dikirim ke sini? Gak sekalian aja kirim aku pergi dari dunia ini?

"Arrrggghhhh." Aku meraung mengeluarkan segala rasa sakit ini. Menjambak rambutku saja rasanya sudah tak ada. Di dalam sini sakit sekali.

Memang setidak berguna itu aku ada di dunia ini? Kenapa Tuhan gak ambil aku aja. Ria capek, Tuhan. Ria sakit. Ria ingin pergi dan gak lagi hidup di tengah kebencian dan orang yang selalu minta Ria pergi.

Segala cara telah Ria coba untuk pulang ke sisi Tuhan, tapi kenapa gak pernah berhasil? Tuhan mau apa sih dari Ria? Tuhan gak tolong Ria, Tuhan malah kirim Ria ke sini. Tuhan suruh Papah kirim Ria ke sini kan? Ria harus apa Tuhan?

Ria gak pernah minta dilahirkan dari orang tua kaya raya banyak harta. Ria cuman mau papah yang selalu menemani Ria. Ria cuman mau semuanya sayang Ria. Ria gak mau dibenci, Ria selalu jadi anak baik di mata Ibu dan Papah, di depan mereka semua. Ria gak pernah meminta kesempurnaan dalam hidup ini. Ria hanya mau kasih sayang.

Aku memegang pecahan beling yang aku ambil setelah memecahkan gelas di kamar rawat inap yang dipesan papah. Yang ada di benakku saat ini adalah segera pergi dan kembali ke sisi Tuhan. Jika aku berhasil pergi, maka papah dan semuanya akan bahagia dan tidak harus lagi memandang aku dengan penuh kebencian.

Tuhan, Ria pulang, ya.

Aku mulai menggoreskan kaca di lenganku dan melihat perlahan darah keluar dari sana.

"Kurang dalam lukanya Ria. Tambah lagi di sisi lain."

"Berhenti, Ri. Nanti Tuhan marah kalau kamu nyakitin diri sendiri."

"Cepat Ria! Kamu mau kembali ke Tuhan kan?"

"Papah sayang Ria. Tuhan gak suka Ria jadi anak nakal yang gak sayang Papahnya."

Suara tersebut berlomba-lomba untuk mengambil alih pikiranku. Kenapa banyak sekali suara? Biarin Ria pergi.

Aku merasa ada yang mengambil alih kaca di tangan ku. Kemudian aku merasa ada yang memelukku. Dekapannya sangat erat, seolah tidak merelakan aku pergi. Dekapan yang rasanya seperti meminta aku untuk bertahan.

"Jangan begini, Sayang. Kamu berharga, kamu patut bahagia, jangan pergi dengan penuh luka. Saya sayang kamu. Mari kita raih cinta-Nya, Sayang. Jangan menyerah dengan kehidupan, Nak," ujar orang tersebut yang entah datang dari mana.

Apakah ini perwujudan Tuhan dari sosok lain? Apakah ini belum waktunya Ria pergi? Apakah Ria masih harus merasakan semua sakit ini Tuhan? Tapi kenapa Ria? Kenapa?

Kesadaranku perlahan menghilang. Sepertinya aku berhasil diselamatkan. Lagi. Untuk kesekian kali.

*****

Hartanto sedang melakukan kunjungan rutin ke psikiater pribadinya yang kebetulan masih ada jadwal praktik hari ini. Biasanya mereka melakukan konsultasi tak pasti di rumah sakit, terkadang di rumahnya sendiri.

Tian yang biasanya ikut menemaninya konsultasi hari ini tidak hadir. Tian juga ikut melakukan konsultasi dengan psikolog yang memang sudah Hartanto buat janji bersamaan dengan jadwalnya konsultasi ke psikiater.

Begitu selesai menemui psikiaternya, Hartanto memilih untuk keliling sebentar melihat suasana poli jiwa yang dibuat sangat tenang. Rumah sakit ini memang menyediakan satu lantai khusus untuk pengobatan jiwa dan kamar rawat inap dengan kelas paling minimal VIP khusus untuk penderita gangguan jiwa yang harus dipantau oleh dokter.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang