65: Antisosial

237 24 1
                                    

Suasana di ruangan sangat mencekam. Tidak ada yang berani bersuara. Bahkan hembusan napas seolah tidak diizinkan untuk terdengar di sini. 

Dua orang berbeda generasi tenggelam dalam pikiran yang berkecamuk. Yang satu berusaha meredam emosi, yang satu berusaha melapangkan hati, siap menerima makian dari lelaki di hadapannya. 

"Kok bisa, ck." Decakan dari lelaki tersebut semakin membuat Ria kalut. 

"Kamu tahu, gak-" 

"Nggak." 

"Dengar dulu Papah bicara!" sentak Antara yang membuat Ria semakin menenggelamkan tubuhnya di sofa. Ia refleks menjawab pertanyaan tersebut. 

"Gak ada yang namanya seseorang gak bisa operasi hanya karena terhalang administrasi di sini, Ria. Jaminan kesehatan diberikan oleh pemerintah bagi mereka yang tidak memiliki uang. Peraturan di rumah sakit juga melarang segala bentuk penundaan tindakan gawat darurat hanya karena masalah biaya," ujar Antara tanpa jeda. 

"Seberapa banyak sih orang tidak mampu di sini? Bisa dihitung jari! Bahkan pemerintah benar-benar mengalokasikan dananya untuk segala kebutuhan primer mereka termasuk jaminan kesehatan. Gak masuk akal seseorang merampas ponsel hanya karena tidak punya uang untuk operasi!" tekan Antara yang membuat Ria ditampar oleh kenyataan. 

"Ini bukan Indonesia, Ria. Ini Amerika!" 

"Siapa tahu dia perantau yang memang tidak punya uang," ujar Ria mencoba membela dirinya. 

"Seharusnya kamu lapor polisi saja. Biar mereka yang menindaklanjuti dan tidak usah berlagak jadi malaikat di sini." 

"Gak ada yang mau jadi malaikat!" 

"Lantas, apa yang kamu lakukan barusan? Membiarkan pengawal kamu pergi sendirian bersama orang asing padahal pengawalmu bukan orang asli sini." Antara sedang membeberkan kesalahannya saat ini. 

"Aku gak tahu. Pengawal yang lainnya gak aku kenal, gak mungkin langsung kusuruh seperti itu," jawab Ria memberikan argumen dari sisinya. 

"Mereka dibayar untuk itu, Ria. Gak usah merasa gak enak karena belum kenal atau sebagainya. Jangan juga bergantung hanya kepada satu dua orang pengawal. Kelak ketika mereka pergi kamu akan sangat tersakiti." 

Perkataan Antara mengingatkannya pada kejadian yang belum lama ini menimpanya. Ditinggalkan sang pengawal yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengannya dan sudah dianggap sebagai sosok Kakak dalam hidupnya. 

"Jangan pernah menjadi dermawan di sini. Kita gak tahu siapa yang ada di belakang mereka dan bersiap untuk terus memeras uang kamu. Papah pernah menjadi korbannya karena terlalu baik di sini," ungkap Antara yang membuat Ria cukup terkejut. Ternyata ada contoh kasus yang dialami orang terdekatnya. 

Tok.. Tok.. Tok..

"Masuk!" teriak Ria membalas ketukan pintu tersebut. 

"Damar meninggal, Nona." Kabar yang Fikri sampaikan membuat suasana di sekitar ruangan semakin mencekam. Ria tidak suka orang-orangnya diganggu dan mati begitu saja. 

"Jangan, Ria! Biarkan dia pergi. Kamu sendiri yang mengirimkan Damar ke sana, sementara kamu tidak mengetahui budaya di sini." Antara menyalahkannya barusan.  

Kepalan di tangan Ria semakin menunjukkan emosinya yang sedang memuncak, tapi ia tidak bisa melawan sang papah. "Di sini banyak orang yang memiliki kekuasaan juga, tidak seperti di negara kita. Orang berkuasa bisa dihitung jari. Di sana mungkin kamu bisa berlaku seenakmu membunuh orang lain dengan dalih nyawa dibalas nyawa, tidak dengan di sini, Ria. Papah tidak seberkuasa itu," ungkap Antara mengingat terakhir kali pengawal Ria meninggal dunia, putrinya sangat marah dan mengeluarkan sifat yang selama ini terpendam. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang