24: Numb

318 25 0
                                    

“Sarapan dulu, Reynal!” perintah Ria pada adiknya yang sedang tidak mau makan. Tiga hari sudah mereka bersama dan kondisi Reynal semakin membaik. Hanya saja lengannya belum sembuh, karena penyembuhannya cukup lama. 

“Gak mau,” balas Reynal keras kepala. 

Ria menghela napas. “Cepat, mau disuapin gak? Aku mau ke kantor sekarang. Udah ditungguin,” ujar Ria seraya menyodorkan sesuap nasi ke depan mulut Reynal. Ia tahu, Reynal berulah karena tak ingin Ria pergi ke kantor. 

“Terserah, lah.” Meletakkan piring di meja nakas dan bergegas keluar kamar. Ria tidak bisa meliburkan diri lagi karena banyak pekerjaannya yang tidak bisa ditinggal. 

Reynal terheran dengan kepergian Ria. Ternyata dirinya tak lebih penting daripada pekerjaan. “Kak,” ujar Rey dengan memelas. Ria tak menanggapinya karena ia sudah dikejar waktu. 

“Aku beneran ditinggal?” tanya Rey sekali lagi memastikan. “Nanti aku pulang ke sini Rey. Aku harus kerja,” balas Ria dan mengecup kening Reynal pertanda ia pamit pada sang adik. Reynal tidak punya kuasa untuk menahan kakaknya tetap tinggal di sisinya. 

“Andi, jangan sampai lupa. Reynal minum obat jam 12 siang, dan jam 4 sore. Jangan sampai dia gak makan. Kalau nyeri di lengannya sudah parah, kamu telepon dokter saja. Lakukan yang terbaik untuk Reynal, kalau butuh biaya yang cukup besar, segera hubungi saya. Nanti saya transfer,” ujar Ria untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan rumah. 

Andi menganggukan kepala dan berkata, “Siap, Nona.” Ria sudah menyampaikan hal ini berulang kali sedari pagi. Ria tidak tenang meninggalkan Reynal sendiri tanpa ada Randy di rumah. Ria masuk ke mobil yang sudah siap berangkat mengantarnya ke kantor. 

Numb,” ujar Ria dengan lirih di tengah kesunyian yang menemani perjalanannya menuju kantor. Seperti biasa, ia bersama Anton yang duduk di kursi kemudi dan Bonnie di samping Anton. 

Belakangan ini Ria merasa mati rasa. Tidak ada gairah untuk hidup. Ia tidak tahu apakah ini memang tanda pasca relaps atau seperti apa. Ketakutannya tetap mentrigger dirinya. Kabar tentang Antara yang pergi tanpa pamit yang ternyata menghampiri Reno, kabar tentang kecelakaan Reynal, dan Randy yang menghilang entah kemana. Beberapa hal tersebut semakin memperparah keadaannya. 

Ria melangkahkan kakinya yang dihiasi Fendi Colibri Kitten Heels 5 cm di lobi Intrafood yang cukup ramai karena jam masuk akan dimulai 30 menit lagi. Double-breasted blazer black keluaran Fendi akan menemani Ria selama jam kantor berlangsung. Pleated skirt hitam dari Chanel juga dipilihnya untuk melengkapi penampilannya saat ini. Bagi mereka yang mengerti barang branded, pasti akan berhenti sejenak untuk melihat penampilan Ria yang sangat classy. Entahlah, Ria tidak begitu peduli tentang harga outfitnya. Seberapa mahal pakaiannya pun ia tak tahu menahu, karena Antara yang selalu menyediakannya. Jika Ria yang berbelanja pasti akan memilih ke toko brand lokal, karena Ria akan melebihkan uangnya ketika melakukan pembayaran. Belanja sekalian berbagi, begitu pikirnya. 

“Ri, lo dipanggil ke ruangannya Julian,” ujar Vera begitu melihat Ria sudah tiba di ruangannya. 

Ria menghentikan aktivitasnya merapikan laporan dan melihat ke arah Vera. “Sekarang?” Dibalas anggukan oleh Vera. Ria bergegas menuju ruangan Julian, manajer keuangan Intrafood yang pernah ikut rapat juga bersamanya membahas project IF.

“Silakan masuk, Mbak, sudah ditunggu Pak Julian,” ujar Andien, sekretaris Julian ketika melihat Ria sudah tiba di depan mejanya. 

Ria masuk ke ruangan Julian tanpa mengetuk pintu. Ia sedang tidak peduli dengan apapun saat ini. Begitu memasuki ruangan, dilihatnya Julian yang sedang melakukan panggilan telepon. Julian mengangkat telapak tangannya pertanda meminta Ria untuk menunggu. Ria langsung duduk di hadapan Julian tanpa persetujuan dari sang empu.

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang