91: Teror

198 27 1
                                    

Ria masih kepikiran dengan pertemuannya dua hari lalu di tempat panahan. Ia tidak menyangka bahwa Wira dan Hartanto berteman sedekat itu. Bodohnya ia yang langsung bersikap seolah hanya ada dirinya dan Hartanto di sana. 

Mungkin jika temannya Hartanto adalah orang lain, ia tidak begitu peduli menunjukkan interaksinya dengan Hartanto. Namun, orang tersebut Wira, loh. Kakeknya sendiri! 

Ria mengerti kekecewaan yang dirasakan oleh lelaki tersebut. Ia juga sering merasa kesal jika papahnya lebih memperhatikan Reno dibandingkan dirinya. 

Ria mengetukkan kepalanya pada sisi kiri kubikelnya. Ia merasa bersalah, sungguh. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. Bahkan Wira tidak pernah menghubunginya. Dirinya juga tidak pernah menghubungi, sih. 

"Aarrgghhh." Mengacak-acak rambutnya hingga terlihat seperti rambut singa. Ia tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun. 

"Kerja, hey! Stresnya ditahan dulu, deadline di depan mata," peringat Zetta ketika melihat Ria yang sedari tiba di kubikelnya, hanya termenung dan menjedotkan kepala ke sisi meja. Bahkan Ria belum menyalakan komputer sedari tiba pukul 9 tadi. 

"Gimana anggaran untuk OPR direksi? Udah selesai, Ri?" tanya Dio yang sengaja menghampiri mejanya. 

"Udah. Udah dikirim ke email lo dari semalam." Akibat kekalutannya, Ria menyalurkannya pada pekerjaan. Sepulangnya dari tempat panahan, ia bekerja tanpa henti hingga dini hari tadi. Maka dari itu pekerjaannya sudah selesai dan ia bisa bersantai sedikit. 

Bukan bersantai, lebih tepatnya merenung. Menyesali perbuatannya dan menyalahkan dirinya. 

"Kalau udah selesai, lo bisa ke lantai 45 temuin Pak Bondan," ujar Dio yang menarik perhatian seluruh penghuni ruangan. 

Menghembuskan nafas dengan kasar dan berujar, "Harus sekarang banget, ya?" 

"Iya, Ri."

Tanpa banyak bicara, Ria bangkit dan berjalan keluar ruangan OPR. Suasana hatinya sedang tidak baik, jangan sampai lelaki tersebut semakin memperparahnya dan memancing sisi lain Ria keluar. 

Lift berhenti di lantai 45, letak ruangan Bondan berada. Ria berhenti sejenak begitu tiba di depan pintu ruangannya. Ia melakukan panggilan dengan seseorang dan masuk ke ruangan tersebut dengan percaya diri. Ada orang lain yang mengetahui kondisi di dalam ruangan. 

"Selamat siang, Pak. Ada keperluan apa Bapak memanggil saya?" tanya Ria yang masih setia berdiri di depan meja lelaki tersebut. 

"Ini orangnya Yah, yang cari gara-gara sama aku. Dia juga yang memotong anggaran operasional direksi," ujar seseorang langsung menunjuknya, melaporkan semua kejadian pada lelaki yang bertahan pada keterdiamannya. 

"Kamu karyawan baru di sini, ya?"

"Betul, Pak." 

"Sudah tahu belum, kalau anggaran operasional para direksi disetujui oleh saya?" tanya Bondan masih dengan perlahan. 

"Tahu, Pak. Saya hanya menjalankan tugas saya untuk mengefisienkan pengeluaran perusahaan," kata Ria tak kalah tenang. 

"Salah satu tugas bawahan adalah mengikuti perintah sang atasan, betul?" tanyanya memastikan. 

"Betul, Pak."

"Maka kamu ikuti aturan main saya. Tidak usah mengubah-ubah anggaran tersebut. Bahkan bagian keuangan tidak selancang kamu!" ujar Bondan mulai menaikkan oktaf suaranya. 

"Langsung pecat aja, Yah. Dia juga nggak nurut sama aku sebagai seniornya! Bahkan aku dijambak gara-gara minta tolong ke dia," ujar Annet mengadukan kejadian yang tidak sepenuhnya salah. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang