"Kamu mau sarapan apa Ri?" tanya Tara begitu melihat anaknya sedang berjemur di halaman rumah.
"Bubur ayam, yuk Pah yang di depan sana." Ria membuka mata tatkala mendengar suara Tara.
"Anton, ambilin dompet sama ponsel saya!" titah Tara dan ia berjalan menghampiri Ria.
"Dari kapan kamu di sini?" Mengusap peluh yang hadir di sekitar kening Ria.
"Lupa. Aku lanjut tidur sepertinya," balas Ria dibarengi dengan senyuman.
Terlihat Anton menghampiri mereka. "Ini pak. Mau saya antar atau bagaimana?"
Ria menggeleng pada Tara. Ia sedang bosan diikuti terus.
"Gak usah. Standby saja kalau saya butuh sesuatu," ujar Tara. Ria memutar bola mata, tentu saja papahnya tak akan membiarkan mereka pergi tanpa pengawalan dari Anton.
"Gak boleh keliatan mata aku, loh. Kalau sampai keliatan, kalian aku hukum!" tekan Ria pada mereka. Ia benar-benar sedang pengap diikuti terus sedari awal di sini.
Tara menggenggam tangan Ria."Hushh gak boleh galak-galak ah sama Anton."
Ria mengabaikannya dan berjalan lebih dulu. Terlihat beberapa pekerja yang sedang mengurusi taman. Beberapa ada yang takut menyapa Ria karena sosoknya yang cukup pendiam dan terkesan galak, beberapa ada yang tak sungkan dan menganggap Ria sebagai teman mereka.
"Selamat pagi Non Ria. Semoga harimu menyenangkan," ujar salah seorang ibu tukang kebun yang memang sangat ramah.
Ria membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan, "Selamat pagi juga Ibu. Ibu sudah sarapan? Mau Ria belikan makan?"
"Ndak usah Non, pasti di dalam sudah masak untuk makan kami," tolak halus ibu tersebut.
Ria teringat para koki yang Tara pekerjakan selama mereka tinggal di sini. Koki tersebut harus membuat makanan untuk seluruh pekerja di rumah ini. Apa yang Tuan dan Nona makan, itu yang mereka makan. Kecuali jika Ria sedang menginginkan menu lain, tentu saja mereka akan membuatkannya juga.
Tara tidak pernah membedakan makanan yang dimakan olehnya mau pun pekerjanya. Maka dari itu para pekerja sangat loyal terhadap Tara. Mereka merasa diperlakukan selayaknya manusia, bukan pekerja rendahan yang tak memiliki arti.
"Oke, Bu. Aku keluar dulu, ya. Gak usah nunggu aku sama Papah pulang, makan duluan aja." Ria berpamitan pada mereka semua melalui lambaian tangan.
Mengapa tidak dengan cium tangan ataupun salaman? Ria tak pernah diajarkan seperti itu oleh orang tuanya, jadi ia tak pernah melakukannya sekali pun orang itu sangat dihormatinya.
Gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya, terbuka secara otomatis. Bukan karena ada sensornya, tapi memang tombolnya dipencet oleh satpam.
Ria tersenyum tipis dan melambaikan tangan pada satpam yang terlihat oleh mata.
"Selamat pagi, Pak. Jangan lupa sarapan, ya. Nanti gak dimasakin lagi sama koki, loh." Ria memberi peringatan karena satpam mereka jarang sekali ikut makan bersamanya.
"Selamat pagi Nona, siap saya ikut sarapan nanti," balas satpam tersebut dan melakukan hormat singkat. Ada-ada saja.
Begitu tiba di luar gerbang, Ria langsung disuguhi pemandangan lautan luas. Ia merentangkan kedua tangan dan memejamkan mata. Mensyukuri apa yang masih bisa dinikmatinya saat ini.
Berganti posisi menjadi posisi berdoa dengan menelungkupkan kedua tangan di depan dada . "Terima kasih Tuhan, Engkau masih melindungi Ria. Engkau masih memberikan kesempatan hidup untuk Ria. Bantu Ria untuk sembuh dan menjalani kehidupan normal Tuhan. Ria sayang papah dan semuanya," ujar Ria pada Sang Pencipta di dalam hatinya.
Tara yang mengikuti Ria di belakang, menghentikan langkahnya ketika Ria merentangkan kedua tangan. Sepertinya ia terlalu mengurung Ria di rumah.
Begitu melihat Ria mengubah posisi menjadi berdoa, Tara mengikutinya. Ia akan mengaminkan segala doa yang Ria panjatkan. Ia juga menyelipkan beberapa doa. Berdoa di hadapan lautan luas dan sinar matahari pagi yang menyinari mereka, membawa ketenangan tersendiri bagi keduanya.
Ria bukan sosok yang jauh dari Tuhan, di antara keluarga Antara bahkan Ria adalah hamba yang sangat taat pada Sang Pencipta. Tapi tetap saja gangguan jiwa yang dialaminya, memang pemberian Tuhan padanya.
Tentu saja salah, anggapan orang tentang mereka pengidap gangguan jiwa karena kurangnya rasa syukur dan jauh dari Tuhan. Lihat saja, Ria yang sudah sangat taat pada Tuhan dan selalu membawa nama Tuhan di setiap langkahnya, tetap mengalami sakit tersebut.
"Amin," ujar Ria sebagai penutup doa dan berbalik menghadap Tara yang juga baru menyelesaikan doanya.
"Ayok, Pah." Mengulurkan tangannya pada Tara, dan disambut. Mereka berjalanan beriringan menuju penjual bubur di depan komplek yang sebenarnya jaraknya cukup jauh.
Mungkin Ria sedang ingin menikmati alam dan sekitarnya bersama sang papah. Selama seminggu mereka tinggal di sini, bisa dihitung jari mereka menghabiskan waktu di luar.
Ria hanya fokus menjalani pengobatan dan terapinya dan harus di bawah pengawasan penghuni rumah. Tara ingin sekali membawa Ria bermain keluar, tapi Ardi melarangnya karena kala itu kondisi Ria belum stabil.
Tidak ada yang bisa menjamin Ria tidak akan kambuh ketika di luar dan justru lebih membahayakan baginya. Seperti tiba-tiba meloncat ke laut atau kemungkinan lainnya. Ardi tidak mau mengambil risiko tersebut.
Satu minggu yang lalu, tepatnya setelah Ria mendapatkan penanganan di rumah sakit, Ardi menyarankan yang terkesan memerintahkan pada Randy dan Antara untuk membawa Ria keluar dari kota ini dengan segera. Stresor yang Ria terima berasal dari tempat ini dan akan terus terulang. Ditambah Ria yang sedang memegang tanggung jawab cukup berat di perusahaan yang mana akan memperparah kondisinya.
Sebenarnya pilihan untuk meninggalkan proyek yang sedang dipegangnya bukan hal yang mudah untuk Ardi katakan, tapi kebetulan perusahaan tersebut juga milik Antara, Ardi pikir Antara mampu mengatasinya demi keselamatan putrinya sendiri.
Bisa saja jika Ria tetap melanjutkan pekerjaannya, pikirannya akan teralihkan sebentar ketika Ria bekerja. Tapi siapa yang bisa menjamin ketika Ria sedang istirahat dan melamun sepersekian detik, penyakitnya tidak akan muncul dan mengambil alih dirinya.
Intrafood memiliki gedung yang sangat tinggi dan ruangan Ria berada pada lantai 15. Kemungkinan terburuknya adalah Ria bisa saja mengikuti suara tersebut dan memilih untuk melompat dari lantai tempatnya bekerja. Bukankah itu risiko yang sangat besar dan tentunya akan berujung menyakitkan bagi semuanya?
"Kalian masih butuh bonding dengan Ria dan menunjukkan bahwa kalian ada sebagai support system. Penyebab Ria mengidap ini sangat kompleks. Tapi penyebab paling utamanya adalah keluarganya sendiri," terang Ardi pada mereka berdua di hadapannya.
"Saya tidak bisa menyampaikan semuanya karena akan menyalahi kode etik. Biarkan ia memiliki privasinya. Yang terpenting mulai lah perbaiki apa yang sudah rusak sedari dulu. Walaupun tidak akan kembali normal, setidaknya kalian bisa membangun kehidupan yang baru dan lebih baik lagi."
"Saya tidak bisa meninggalkan Jakarta, tapi saya akan meminta rekan saya untuk merawat Ria jika Ria relaps. Saya akan tetap mengawasi dan memantau setiap perkembangan Ria selama kalian healing di luar kota."
Randy dan Tara mendengarkan dengan seksama penjelasan Ardi. Mereka juga merasa bahwa belum benar-benar berperan selayaknya keluarga sepanjang lima tahun terakhir Ria di bawah pengawasan dokter.
Terlihat Ardi yang menuliskan resep di kertas. "Saya berikan dosis yang lebih tinggi untuk Ria. Jangan sampai terlewat bahkan dalam sehari. Dampaknya sangat fatal, Antara. Tolong. Kamu sebagai papahnya, luangkan lah waktu untuk mengurus putrimu. Harta bisa dicari, kekuasaan bisa diraih, tapi putri yang sudah terlanjur hancur hari demi harinya tak bisa kamu kembalikan. Mengobati itu lebih menyakitkan dibandingkan mencegah. Putrimu adalah harta terbesar bagimu," nasihat Ardi pada Antara. Ia sangat geram dengan kelakuan Antara sepanjang lima tahun terakhir.
Mau cari apa lagi? Harta kekayaannya tidak akan habis hingga tujuh turunan. Antara sudah termasuk kaum old money. Mengapa masih terus mencari dan mengejar hingga mengabaikan kondisi anak-anaknya?
Antara menerawang ke depan mengingat apa saja yang sudah ia lalui sepanjang lima tahun ini. Ia merasa tertampar akan perkataan Ardi barusan. Memang benar yang dikatakan olehnya. Papah macam apa dirimu Antara.
"Sudah, jangan kau ratapi semua yang sudah terjadi. Lakukan lah untuk ke depannya. Jadi lah salah satu alasan untuk kesembuhan putrimu. Tekadnya sudah kuat untuk sembuh, tapi lingkungan sekitar yang tak mendukung juga terasa akan percuma. Mari kita hadir dalam hidupnya dan menjadi alasannya untuk kembali normal walaupun tak bisa sepenuhnya sembuh," ujar Ardi untuk terakhir kalinya sebagai psikiater Ria. Ardi merebahkan tubuhnya di sandaran kursi.
Antara yang tahu Ardi sudah kembali menjadi sosok sahabatnya, juga ikut mengendurkan sedikit ketegangan di antara mereka.
"Kelakuan lo Tar, malem-malem bikin gue sport jantung," kelakar Ardi. Tara hanya terkekeh dibuatnya.
"Mau dibawa kemana anak gue?" Sang ayah bertanya pada papah dari anaknya.
"Belum tahu. Gue cek dulu mana yang ready untuk gue tempati sampai waktu yang tak ditentukan."
"Semangat, ya 🙂. Ayah dan Papah akan berjuang untuk kesembuhan putrinya." Mereka saling menggenggam tangan dan saling menguatkan. Mengobati pasien dengan gangguan jiwa berat memang sangat melelahkan. Tapi itu adalah sebuah bentuk perjuangan.
#############################
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Woman
ChickLitRia Ananta. Ananta itu kepanjangan dari Anaknya Antara, papahnya Ria. Ia sengaja diberi nama itu untuk menutupi identitas aslinya yang merupakan anak seorang konglomerat kaya raya tujuh turunan. Padahal sudah terlihat jelas dari pembawaannya bak pu...