85: Menepi

195 25 2
                                    

"Kalo aku berhenti dari dunia hiburan, aku kerja apa ya, Pung?" tanya Tian di sore yang tenang pada sang opung. 

"Tinggal tunjuk aja perusahaan mana yang mau kamu urus," jawab Hartanto dengan mudah. 

Tian menghela nafas lelah. Dirinya kabur dari GMC selama lebih dari seminggu. Ia kecewa dengan agensi dan GMC terutama. Mereka tidak memihak dan membantunya untuk keluar dari permasalahan ini. Mereka justru memaksa Tian untuk patuh terhadap perkataan agensi. 

Seminggu dihabiskannya di kediaman Hartanto. Ia tidak punya tempat pulang lain, karena Ria sedang tidak berada di Jakarta. Hartanto senang saja menerima kepulangan cucunya setelah konser di Amerika. 

"Aku salah nggak sih, Pung? Membela nama baikku dan tidak mau mengakui hal yang tidak aku lakukan?" tanya Tian dengan gamang. Ia sudah melaporkan akun penyebar beritanya ke pihak yang berwenang, tapi berkasnya masih tertahan karena Tian yang masih berpikir ulang. 

"Sudah kamu pikirkan dampak dari laporan tersebut jika ditindaklanjuti? Kalau dia dari luar negeri, bagaimana proses hukumnya? Hukum di sini berlaku hanya untuk warga sini, Yan. Kenapa nggak coba cara lain untuk menyelesaikan selain dengan jalur hukum?" 

Tian tidak tahu. Ia belum menemukan jawaban tersebut.

"Sekarang Opung tanya lagi. Kamu marah kenapa? Apakah karena agensi yang lebih mementingkan saham perusahaan dibandingkan kamu? Apakah karena berita tersebut diiringi dengan berita negatif hubungan kalian? Atau karena hubungan kalian terungkap ke media, sehingga kamu tidak terima?" 

Tian tertegun. Ia juga tidak tahu alasan ia semarah ini hingga pergi tanpa kabar dari GMC. 

Hartanto menepuk lengan atas Tian dengan kencang. "Ke psikolog sana! Pulang dari konser bukannya bahagia, malah emosian," cibir Hartanto dan bangkit meninggalkan kursi taman belakang. Ia memberikan waktu Tian untuk berpikir kembali. 

Semua berawal ketika Tian sedang dalam kondisi kalut akibat Ria yang dijemput oleh keluarganya di tengah kegiatan jalan mereka. Tian bingung dan tidak harus berbuat apa. Ia ditinggalkan lagi dengan perasaan berkecamuk. 

Kemudian agensi yang memaksa untuk bertemu dengannya ketika ia baru tiba di Jakarta. Setelah melewati perjalanan udara selama 24 jam tanpa henti, tentu saja kondisinya jet lag dan tidak dapat berpikir jernih. Tapi agensi dan terutama GMC memaksanya untuk menyelesaikan permasalahan di detik itu juga. 

Dari segi manapun, kondisi Tian sedang tidak dapat diajak berbicara. Keadaan mentalnya yang tengah terguncang akibat kejadian di Vegas, ditambah tubuhnya jet lag pasca penerbangan. 

Tian mengusap wajahnya begitu menyadari kejanggalan yang perlahan mulai terungkap. Masalahnya, ia tidak pernah sampai pergi dari GMC ketika permasalahan seberat apapun. Entah kenapa, permasalahan kali ini justru membuatnya enggan bertemu GMC dan memasukkan mereka ke dalam daftar penyebab kemarahan Tian. 

"Arrgghhh." Tian menggeram kesal dan bangkit dari duduknya. 

"Ke psikolog lah gue!"

****

“Jangan diajak berantem terus Abangnya,” kata Ardi di akhir konsultasi. 

“Dianya aja yang nyari perkara terus,” timpal Ria tak terima seolah dirinya yang mencari masalah.

“Kamu udah janji sama Ayah dan Papah loh untuk nggak musuhin Reno lagi kalau kalian kembali ke Jakarta.” 

“Kenapa nggak bilang gitu juga ke Reno?” tanya Ria sewot. 

“Kan kamu yang lebih waras saat ini,” balas Ardi penuh kelakar. 

Ria memutar bola mata malas. Selera humor lelaki di hadapannya sungguh buruk. “Jadi, aku udah boleh kerja, kan?” tanya Ria kembali memastikan bahwa ia mendapat izin bekerja dari Ardi selaku psikiaternya. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang