100: Lompat

232 26 2
                                    

“Papah,” panggil Ria dalam tidurnya. Tubuhnya berguling ke kanan dan kiri masih dalam posisi terlelap di tengah malam. 

Terbangun dengan nafas tersengal dan melihat sekeliling yang gelap. Ria kembali masuk ke dalam halusinasinya akibat ruangan tanpa pencahayaan seperti ini. 

“Nggak mau! Ria nggak mau dekat-dekat Ibu,” sentak Ria dengan suara keras. 

“Pergi! Pergi!” Ria turun dari hospital bed dan berlari tak tentu arah. Ia mengikuti arahan sosok lelaki yang selama ini menjadi petunjuknya untuk keluar dari situasi ini. 

Ria berhasil membuka pintu dan keluar dari kamar inap, menjauhi sosok ibu yang muncul di hadapannya tadi. 

“Papah!” panggil Ria lagi di sepanjang larinya. 

Terdengar beberapa langkah kaki yang mengejar di belakangnya. Ria semakin berlari tak tentu arah dengan ketakutan yang melingkupinya. 

“Jangan kejar Ria! Biarin Ria pergi jauh dari Ibu,” ujar Ria tanpa menengok ke belakang. 

Sosok lelaki halusinasinya membawanya hingga atap rumah sakit. Ria percaya sepenuh hati dengan sosok tersebut yang katanya akan membawanya terlepas dari Lidya. 

“Maka mari kita sudahi semua ini,” kata lelaki itu. 

Ria berhenti dengan nafas tersengal dan memperhatikan lelaki itu yang sudah berdiri di pembatas rooftop. 

“Kamu mau pergi dari Lidya, kan?” tanyanya dan diangguki oleh Ria. 

“Satu-satunya cara adalah lompat ke bawah dan kamu akan terlepas dari Lidya untuk selamanya,” kata lelaki itu dengan penuh keyakinan. 

Ria bimbang. Ia masih berharap bisa dibawa pergi jauh oleh papah dan terlepas dari ibunya. Ia masih memegang harapan tersebut hingga kini. 

“Buat apa kamu menunggu Papah kamu, Ria? Bahkan dia dengan sengaja meninggalkan kamu di rumah sakit. Dia sudah lelah. Menyerah akan keadaan kamu. Dia lebih memilih untuk membiarkan kamu hidup bersama Lidya selamanya,” ujar lelaki tersebut dengan kekesalan yang tergambar jelas. 

“Hanya ini kesempatan kamu. Kalau kamu tidak melompat sekarang, dapat dipastikan bahwa kamu akan hidup selamanya bersama Lidya.” 

“Arrggghhhh.” Ria memegang kedua sisi kepalanya akibat suara lain yang berebut untuk muncul saat ini. 

Suara papahnya yang meminta Ria untuk bertahan, suara abang dan adiknya yang meminta Ria untuk tetap tinggal, suara teman-temannya yang menjanjikan akan banyak bermain dengannya dan satu suara yang sangat dikenalinya. Suara Tuhan!

Ria langsung tersadar bahwa ia tidak boleh melompat saat ini. Ia harus menyelesaikan tugasnya yang belum terselesaikan. Ia diingatkan kembali tentang aksi berbaginya yang belum tersebar merata ke anak-anak di kota ini. 

Ria berbalik arah dan berjalan meninggalkan pembatas rooftop tersebut. Membiarkan lelaki itu berdiri di sana sendirian dan berteriak penuh kemarahan. 

“Ria!!! Tak ingatkah kamu dengan perbuatan tidak bermoral Lidya selama ini? Tak ingatkah kamu jerit kesakitan yang selalu terdengar setiap saat dari korban Lidya? Bahkan Lidya beberapa kali mencoba untuk menghabisi nyawamu juga. Dan kamu masih memilih untuk tetap bersama dia?” 

Langkah Ria terhenti. Ia kembali disadarkan bahwa saat ini pilihannya adalah pergi selamanya dari hidup ibu, atau kembali bersamanya namun selalu dipenuhi derita? 

Ria sudah sampai di titik ini dan ia sudah mencapai ambang batas menghadapi Lidya. Seharusnya sekarang adalah momen yang tepat untuk Ria mengakhiri derita. Ia tidak perlu lagi mendengar rintihan korban Lidya. Ia tidak perlu lagi mendengar ancaman dan sumpah serapah yang dikatakan Lidya. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang