38: Tidak Takut

325 27 4
                                    

Ria menekan tombol untuk memberi tanda bahwa ia ingin berbicara. Agung yang melihat hal tersebut menghela napas lelah. "Bagaimana yang lain? Apakah ada tanggapan?" tanyanya melihat sekitar agar Ria tak bicara lagi. Perempuan itu memberi sanggahan dan tanggapan terus sedari tadi, seolah rapat hanya dihadiri oleh Bapak Kabid (Kepala Bidang) dan Ria saja. 

Karena dirasa tak ada yang menyalakan tombol untuk berbicara, maka Agung mempersilakan Ria. "Silakan, Mbak Ria."

"Saya bingung sih, di proposal tertulis akan dibayarkan pada perusahaan sampai nominal 8-10 M ya untuk semuanya, kenapa jadi dipangkas hanya menerima maksimal 5 M?" tanya Ria dengan memegang pena di tangannya. Sepanjang rapat berlangsung ia menghitung kembali perkiraan pendapatan bersih yang akan didapat oleh perusahaan berdasarkan harga jual produk. 

"3-5 M dipergunakan untuk biaya operasional mulai dari penjemputan ke pabrik hingga pemberian ke peserta," jelas Pak Kabid yang masih tidak diterima oleh Ria karena ia kembali menyalakan mikrofon. 

"Harusnya gak dipotong sebesar itu hanya untuk operasional seperti itu. Serahkan saja nominal bersih 10 M pada perusahaan dan kami yang akan mengantarkan dari pabrik hingga wisma atlet. Toh sama saja perusahaan atau dari pihak penyelenggara yang melakukan, bahkan lebih efisien dari perusahaan karena sekalian jalan."

Tidak ada tanggapan untuk pernyataan Ria. Pak Kabid seolah kehabisan kata. Ria kembali menyalakan mikrofon dan mengatakan, "Exposure nya juga kenapa cuman diadakan stand bazar di sana? Padahal perusahaan udah berani jual murah loh, kasih space untuk iklan atau paling tidak sebut sebagai sponsor dari ajang ini. Stand bazar doang siapa yang mau datang. Orang perusahaan terlalu sibuk untuk melakukannya," tekan Ria di akhir kalimat. 

Hartanto menggenggam tangan Ria dan mengelusnya dengan penuh sayang. Ia bisa merasakan emosi Ria mulai naik, jika Ria tidak ditahan pasti omongannya makin kurang ajar. Tidak semua orang bisa menerima cara berbicara Ria yang seperti itu, hanya orang terdekatnya dan sudah terbiasa mendengarnya. 

Karin dan Fahri juga dibuat ketar-ketir dengan Ria yang sedari tadi memberikan counter pada Bapak Kabid. Pembicaraan didominasi oleh Ria yang terus mempertanyakan ketidaksesuaian informasi yang disampaikan dengan yang tertera di proposal. Perwakilan perusahaan lain hanya bisa terdiam dan tidak berani mempertanyakan. Beda cerita dengan Ria yang tidak takut apapun. Selagi ia benar dan tak melanggar aturan. 

"Akan kami bicarakan lebih lanjut terkait exposure perusahaan." 

Ria kembali menekan tombol bicara menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya masih digenggam oleh Hartanto. Hal tersebut langsung dihentikan Hartanto dengan menarik mikrofon tersebut dan memindahkannya ke depan Rizal. "Kasih yang lain kesempatan untuk berbicara," ujar Hartanto dengan suara pelan. Padahal ia tidak ingin mulut sinis Ria mengeluarkan kata-kata ajaibnya dan membuat Kabid makin marah. 

Karin memberikan air putih pada Ria. Ia yang bertugas mencatat sepanjang jalannya rapat pun sangat lelah karena Ria banyak sekali berbicara. Memang yang dibicarakan Ria adalah hal-hal yang janggal dan meleset dari perkiraan. Pertanyaan dan pernyataan di akhirnya itu loh yang membuat Karin pun gemas sekali dengan Nona di sampingnya. 

"Ehem." Agung sengaja berdehem untuk mengembalikan pusat perhatian padanya. "Mari kita masuk ke bahasan selanjutnya." 

Tibalah mereka di ujung agenda rapat yaitu penentuan perusahaan yang berhasil mendapatkan tender ini. Ria sudah tidak tertarik lagi karena pemerintah sangat pelit. Seenaknya saja memangkas uang yang dijanjikan dengan dalih untuk operasional. Tidak masuk akal. Ia sudah ingin adu argumen lagi sedari tadi tapi tak diizinkan oleh Hartanto. Orang tua tersebut menjanjikan akan memberikan penjelasan mengapa lebih baik diam. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang