71: Berdamai (II)

219 19 1
                                    

"Ck. Lama." Ria menghentakkan kakinya ke lantai dalam posisi duduk di sofa. Ia tidak mendengar satu suara pun dari lelaki di hadapannya. 

"Hitung sampai tiga. Kalau gak bicara juga, gue tinggal," ucap Ria memberi peringatan. Yang benar saja, sudah mengganggu waktunya dengan berkunjung tanpa memberi kabar. Tiba di hadapannya justru tidak bersuara. 

"Satu, dua, ti-" 

"Gue minta maaf," ujar Julio dengan gurat ketakutan. 

"Apa? Gue gak salah dengar?" Ria mengonfirmasi perkataan yang didengar barusan, barangkali telinganya bermasalah atau bagaimana. 

"Gue datang ke sini mau minta maaf," ujar Julio sekali lagi mempertegas kalimat sebelumnya. 

"Kepentok apaan lo tiba-tiba minta maaf begini?" tanya Ria dengan skeptis. Terakhir kali pertemuannya dengan Julio bahkan lelaki tersebut masih keras kepala menyalahkan tindakan ibunya dan dilimpahkan kemarahan tersebut pada Ria. 

"Gue serius, Ri." 

"Gue juga," timpal Ria tak mau kalah. 

Julio menghembuskan napasnya keras-keras. Menghadapi perempuan di hadapannya memang butuh kesabaran ekstra. 

"Tidak seharusnya gue menyalahkan lo atas semua yang terjadi di masa lalu," ungkap Julio dengan kesungguhan. 

"Memang!" balas Ria dengan sinis. Entah kenapa dirinya sangat sinis dengan lelaki di hadapannya. 

"Gue benar-benar minta maaf atas kejadian tempo hari. Lo tidak sama dengan Lidya. Lo lebih nyolot dan kurang ajar serta tidak bisa jaga omongan." Perkataan Julio tersebut dibalas dengan lemparan bantal sofa ke wajah lelaki tersebut. 

"Niat minta maaf gak, sih? Kenapa lo jadi ngata-ngatain gue?" Intonasi suara Ria sudah meninggi pertanda ia emosi mendengar perkataan Julio barusan. 

"Sorry, but that's true." Julio tersenyum melihat ekspresi kesal yang ditujukan untuknya. 

"Luka ini belum sembuh hingga sekarang. Ingatan masa itu gak akan pernah gue lupakan. Maaf kalau di kemudian hari gue bertindak di luar nalar dan tidak seperti biasanya, karena refleks akibat memendam kebencian dan dendam selama bertahun-tahun akibat Ibu lo," ungkap Julio dengan pasrah. 

Ria menerawang ke arah jendela di belakang Julio. "Gue tahu. Dan gue gak bisa menyangkal bahwa gue keturunan wanita tersebut. Bagaimanapun darah lebih kental dari apapun." 

Keheningan menyapa keduanya. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. "Bisa gak, kita gak usah ketemu dulu dalam beberapa minggu ke depan?" tanya Julio perlahan. Hal ini mengganggunya sedari mereka di LA. 

"Gak bisa lah! Lo lihat saja dia pasti sekarang lagi tidur di kamar gue," balas Ria dengan pongah. Tian memang menanyakan letak keberadaan kamarnya. Dan begitu diberitahu, ia langsung bergegas menuju kamar Ria yang dapat dipastikan melanjutkan tidurnya. 

"Ini berat banget." 

"Ke psikiater sana! Lo harus terapi, Jul. Menghindari yang lo anggap sumber luka gak membuat lo sembuh. Yang ada luka tersebut belum membaik, sudah datang luka yang baru. Gitu aja terus siklusnya." 

"Kenapa kita gak coba untuk bergandengan tangan? Jalan beriringan dengan saling menyembuhkan. Gue tahu ini sangat menyakitkan, tapi bukan hanya lo yang korban," ungkap Ria dengan pandangan nanar. Mengapa Julio memilih jalan yang sulit untuk memusuhinya? Sementara mereka bisa berteman dan saling menyembuhkan. 

Julio tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Yang diucapkan Ria benar adanya. Mengapa ia justru memilih jalan untuk luka yang baru? 

"Wanna hug me?" Ria merentangkan kedua tangannya menawarkan sebuah pelukan pada lelaki di hadapannya. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang