99: Relaps

246 22 1
                                    

“Sayang. Kamu udah bangun?” tanya Antara dengan sigap ketika melihat pergerakan putrinya dari ranjang pasien. 

Ria memandang Antara dengan terheran. Ia melihat sekeliling ruangan dan pandangannya terfokus pada seseorang. 

“Ada berapa orang di ruangan ini?” Antara menyadari putrinya melihat sosok lain karena pandangannya yang hanya terfokus pada satu titik. 

“Dua.” 

Menghela nafas lelah dan berusaha tersenyum. Antara berusaha memahami dan mempercayai yang terlihat oleh netra Ria. 

“Coba bawa ke sini. Papah mau kenalan,” kata Antara berusaha ramah. 

“Cih, mana mau dia. Dia kan penakut. Beraninya ngomporin aku doang di berbagai situasi,” cibir Ria pada sosok tersebut. 

“Ria mau cerita sama Papah?” tanya Antara coba memancing Ria mengutarakan perasaannya. 

“Papah disuruh Dokter Ardi, pasti!” tuduh Ria yang memang benar adanya. Ia mengikuti perkataan Ardi untuk membuat Ria bercerita. 

“Papah nggak usah repot-repot mengikuti kata Dokter. Aku tahu, jiwa Papah nggak di sini. Nggak bersamaku.” Ria tersenyum penuh maklum mengingat papahnya yang selama ini lebih mementingkan pekerjaan. 

“Papah banyak salah, ya, selama ini?” tanya Antara dari hati terdalam. Ia tertohok mendengar perkataan Ria. Ia berada di sini atas perintah Ardi, bukan kemauan dari hati kecilnya. 

“Kata dia, Papah nggak salah. Akunya aja yang terlalu menuntut semua orang harus berada di sisiku,” adu Ria dengan kesal. Ia mendapat perkataan tersebut dari sosok yang dilihatnya saat ini. 

“Ria selama ini sering ngobrol dengan dia? Boleh Papah tahu, siapa namanya?” 

“Nggak. Dia selalu menemani Ria ketika Ria hilang arah. Dia juga yang selalu ngasih ide ke Ria untuk mati. Tapi, dia juga yang selalu meremehkan Ria jika Ria kalah melawan sebuah ketakutan,” kata Ria dengan berbagai ekspresi. 

“Jawaban Ria selama ini, dikasih sama dia atau Ria jawab sendiri?” 

Ria mendelik sebal pada sang papah. “Yang bener aja, Pah! Dia bodoh dan bisanya cuman memprovokasi Ria. Mana bisa dia memberikan jawaban cemerlang seperti Ria selama ini.” 

Antara mengecup puncak kepala Ria dan tersenyum bangga. “Anak Papah memang pintar dan tak tertandingi.” 

“Ria mau apa? Makan, minum, ke toilet?” ujar Antara menawarkan kebutuhan primer Ria. 

Menggelengkan kepala diiringi senyuman, Ria mengatakan, “Aku mau tidur lagi.” Dan kelopaknya langsung menutup, membawanya ke alam mimpi. 

Antara menangis melihat putrinya yang sangat kelelahan. Padahal ia baru terbangun beberapa menit. Apakah efek melihat sosok tersebut atau kondisi Ria yang sedang tidak fit? Ia rindu putrinya yang pemarah dan keras kepala. Ia tidak suka melihat putrinya terbaring lemah seperti ini. 

Sebanyak apapun Antara merenungkan segala kesalahannya, tidak akan mampu mengubah kondisi putrinya. Ria sudah terluka begitu dalam sehingga lukanya terbawa hingga saat ini. Antara tidak bisa berbuat banyak dengan segala kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat Ria tidak mengidap sakit tersebut. 

Jujur, ia sangat lelah berada di rumah sakit dan menemani Ria yang tidak ada kepastian kapan akan keluar dan normal kembali. Antara sudah minta anaknya yang lain untuk ikut berjaga di rumah sakit, namun mereka memiliki kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal. 

Antara benar-benar butuh istirahat sejenak. Ia butuh keluar dari ruangan ini selama beberapa saat untuk menjernihkan kembali pikiran. Berada satu ruangan dengan putrinya semakin membuat rasa bersalah dan penyesalannya membumbung tinggi. Dan itu sangat melelahkan. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang