48: Hukuman

323 32 2
                                    

“Bedebah, Hariadi!” teriak Wira penuh amarah. Ia baru mendapatkan kabar kedua cucunya berada di rumah sakit ketika pagi menyapa. Terjadi penyerangan semalam pada Ria dan Reynal yang masih berada di luar tengah malam. 

“Laksanakan rencana saya. Dia benar-benar menguji kesabaran dan kebaikan saya.” Wira tidak mempedulikan perikemanusiaan lagi jika orang yang dikasihani justru malah menyalakan api di atas bahan bakar yang mudah tersulut. 

“Baik, Tuan.” 

“Mereka di rumah sakit mana?” Wira keluar dari kamarnya dan bersiap menemui kedua cucunya yang tidak mau ia ketahui kabarnya dari pengawal sebelum melihatnya sendiri. 

“RS Medika PH."

Tiba di rumah sakit, para pengawalnya berjejer memenuhi lorong menuju ICU dan menyambut kedatangan Wira dengan menundukkan kepala. Wira tidak menghiraukan sambutan tersebut dan fokusnya saat ini adalah tiba di ujung lorong yang mana letak ICU berada. 

Di kursi tunggu terlihat seorang lelaki duduk dalam posisi membungkuk dan memandang lantai dengan gamang. Wira mempercepat langkahnya dan tubuhnya berhenti tepat di depan lelaki tersebut. 

"Kakek, Kakak di dalam. Rey takut Kakak gak balik. Rey takut," ujar Reynal dengan berlinang air mata. Kesedihannya yang tertahan dari semalam akhirnya tumpah di hadapan sang kakek. 

Wira terduduk di samping Reynal dan membawanya ke dalam dekapan. Anak kecil di hadapannya sedang ketakutan. Ia terlihat begitu rapuh melihat satu-satunya orang yang menjadi tumpuannya harus terbaring lemah di dalam sana. 

Reynal tumbuh dan berkembang bersama Ria. Sepanjang usianya dihabiskan bersama sang kakak. Meskipun mereka sering bertengkar ketika Reynal menginjak SMP, ia tidak benar-benar membenci Ria. Ia yang akan paling terluka jika sang kakak terluka. Maka dari itu selama ini Reynal tidak pernah tahu kondisi Ria ketika relaps. 

"Ria akan kembali. Percaya padanya, Rey. Dia gadis yang kuat. Dia gak akan pergi dan menyerah begitu saja," ujar Wira menenangkan anak kecil yang sangat ketakutan dalam dekapannya ini. 

"Sshhh, tenang, Sayang." Tubuh Reynal bergetar hebat karena berusaha meredam tangisan dan kekalutannya yang seolah pecah di waktu ini. 

Wira mengusap punggung Reynal dan secara teratur mengelus kepala Reynal juga untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Reynal yang malang. 

Perlahan Reynal mulai tenang dan kembali stabil tidak seperti di awal kehadirannya. Reynal memang tidak bisa menumpahkan perasaannya pada siapapun selain dengan orang yang dipercayainya. 

Wira membersihkan sisa air mata Reynal dengan tisu di tangannya. Air mata tersebut masih terus turun meskipun secara kasat mata Reynal sudah stabil. Bahkan kemeja yang dikenakan Wira sudah sangat basah di bagian depan. Rasanya bisa diperas kemeja tersebut karena tangisan Reynal yang luar biasa hebat. 

"Sudah bertemu dokter?" tanya Wira yang dibalas gelengan kepala dari sang cucu.

"Why?"

"Takut. Reynal bilang tunggu Kakek saja dan biar dia jelaskan pada Kakek." Jawaban Reynal sangat polos layaknya anak balita yang menunggu kehadiran orang tuanya. Padahal usianya sudah terhitung dewasa. 

"Sudah berdoa?" Jawaban yang sama diberikan Reynal, gelengan kepala. 

"Kamu berdoa dulu. Kakek akan menemui dokter." Wira bangkit dari duduknya dan mengusap kepala Reynal sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang dokter. 

"Kumpulkan semua pengawal pribadi Ria dan Reynal yang bertugas semalam, tanpa terkecuali," titah Wira pada Arthur pengawal pribadi yang setia mengikuti langkahnya kemanapun. 

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang