68: Berdamai

238 27 6
                                    

Fikri mencari sang nona dengan cemas. Kakinya melangkah tak tentu arah dengan pandangan yang melihat sekitar. Barangkali ia menemukan sang nona. 

Fikri sudah diwanti-wanti Antara untuk menjaga sang nona untuk tidak terlibat tindak kriminal satupun di sini. Hukum di sini tidak memandang siapa kamu, kekuasaan tidak berlaku di sini jika sudah masuk pengadilan. 

Salah Fikri yang lengah dalam mengawasi sang nona. Ia memiliki firasat buruk. Semoga saja bukan masalah yang berarti. 

Langkahnya terhenti begitu melihat sang nona menerjang seseorang hingga terjatuh. Orang tersebut tak berdaya dan tak punya kekuatan untuk melawan. Ria mencekiknya! Ya Tuhan, salah seorang GMC. 

Fikri berlari menghampiri keberadaan sang nona sebelum lelaki tersebut kehabisan napas dan meninggal. Fikri lebih takut sang nona terjerat kasus hukum di negeri orang dibandingkan ia harus menghilangkan nyawa seseorang. 

"Nona!" Fikri menarik tubuh Ria yang menduduki lawannya yang sudah terkapar. 

"Sadar, Nona! Jangan ikuti amarah tersebut." Fikri berusaha mengajak bicara Ria sambil melepaskan cengkraman tangan Ria di leher lelaki tersebut. 

"Bilang, kamu tidak seperti Lidya," ujar Julio dengan terbata karena jalan napasnya yang ditekan oleh Ria. 

Fikri mengikuti arahan Julio dan mengatakan kalimat tersebut. "Nona tidak seperti Ibu, Nona adalah Nona Ana yang baik hati bak malaikat. Nona bukan monster," bisik Fikri di telinga Ria yang perlahan mengendurkan cekikan di leher Julio. 

Julio menggunakan kesempatan tersebut untuk berguling keluar dari kungkungan Ria. Ia baru mendapatkan kekuatannya sekarang, begitu ada orang lain di antara mereka. 

"Kapan aku bisa hidup terlepas dari bayangannya?" tanya Ria putus asa begitu kesadarannya sudah terkumpul. 

"Kenapa Nona lebih mudah flip akhir-akhir ini?" Fikri menanyakan hal yang mengganggunya. Sudah berapa kali ia melihat sang nona berubah dalam sepersekian detik menjadi tidak berperikemanusiaan. 

"Dia udah mati, Fik. Kenapa orang-orang masih mengungkit kehadirannya terus-menerus? Kenapa?" Tangisan Ria terdengar sangat pilu. 

Fikri tidak mengerti perkataan yang diutarakan Ria. Ia hanya diam mendengarkan di sana. Hadir sepenuhnya menemani sang nona yang masih meresapi segala rasa. 

"13 tahun gue hidup penuh ketakutan karena wanita tersebut." Julio membuka pembicaraan di tengah tangisan Ria yang belum juga berhenti. 

"Hidup dilandaskan ambisi dan dendam nggak enak, Ri. Gue mau bebas seperti yang lainnya, tapi nggak bisa. Perlakuan bajingan Lidya membuat gue bertekad untuk tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk membalaskan semua perlakuan dia ke keluarga gue," ujar Julio dengan menerawang ke depan. 

"Bertahun-tahun gue berambisi untuk mencapai di titik gue sekarang. Setelah semuanya tercapai, gue justru mendapat kabar bahwa Lidya sudah meninggal sedari lama." Julio menghentikan perkataannya untuk melihat reaksi Ria yang masih bergeming. Hanya air mata yang terus mengalir di pipinya. 

"Semua rasanya sia-sia. Untuk apa lagi gue hidup, jika alasan gue sampai di titik ini justru sudah lama pergi. Gue mencoba mengikhlaskan dan melupakan segala kenangan pahit yang ditinggalkan Lidya. Berhasil. Sebelum gue bertemu dengan sosok lo, Ria Ananta." Julio menekankan pada bagian nama Ria. 

"Awalnya gue coba menyangkal bahwa lo punya hubungan darah dengan Lidya. Tapi semuanya semakin jelas ketika Bonnie salah satu orang terdekat di hidup gue justru mati dengan tidak terhormat di tangan lo." Ria menghentikan tangisnya. Ia memusatkan pandangan sepenuhnya ke arah Julio. 

"Dia berkhianat," ujar Ria dengan sinis. Untuk yang satu ini ia tidak akan rela dirinya disalahkan. 

"Seberapa besar sih penghianatannya sampai lo tega menghabisi nyawanya?" tanya Julio dengan geram. 

Ria meninju pot yang terbuat dari tanah liat di sisinya hingga pecah. Isi dari pot tersebut berserakan dan tanaman yang tumbuh di atasnya menjadi tumbang. "Lo lihat? Itu hanya sebagian kecil efek yang ditimbulkan akibat pengkhianatan." 

Julio termenung. Tanaman tersebut tergeletak tak berdaya bersamaan dengan hancurnya pot dan isinya yang berserakan. Ia mulai menyadari perasaan yang dirasakan Ria kala itu. 

"Tapi tetap saja menghilangkan nyawa seseorang bukan suatu jalan keluar, Ri!" 

"Lo mau gue bagaimana? Menghidupkan kembali si Bonnie? Bawa balik Ibu untuk menebus semua kesalahan dia terhadap lo?" Pertanyaan retoris yang diutarakan Ria tak mampu dijawab Julio karena memang tidak ada jawabannya. 

"Lo bener-bener replika Lidya." Julio memancing kembali emosi Ria. 

"Monster. Tidak berperasaan, tidak memiliki empati, membunuh orang tanpa perasaan bersalah dan perkataan yang tidak bisa dijaga dan tidak tahu tempat." 

Ria memajukan tubuhnya untuk menggapai Julio tapi tertahan oleh Fikri yang menahan tubuhnya dari belakang. "Coba sekali lagi lo bilang gue apa?" tantang Ria agar Julio mengatakan hal tersebut sekali lagi. 

"Monster like your mother." 

"Gue putusin urat nadi leher lo pake tangan gue sekarang juga, ya!" teriak Ria penuh amarah. Jemarinya sudah mengacung siap menggapai leher Julio, tapi tenaganya kalah kuat dengan Fikri. 

"Udah, dong! Lo juga gak ada otaknya, Jul! Jelas kalimat tersebut membuat Ria flip, tapi lo malah dengan sengaja mengulanginya terus," ujar Fikri menghardik tindakan Julio. 

"Lo harus bisa menahan itu, Ri. Mau berapa banyak nyawa lagi yang lo ambil hanya karena kalimat tersebut?" 

"Gue bukan dia! Gue tidak sama seperti dia! Gue benci hidup selalu dibayangi dirinya!" teriak Ria seperti orang kesurupan. Fikri dapat merasakan suhu di sekitarnya meningkat karena Ria yang terbakar api amarah. 

"Suatu saat lo akan berhubungan dengan korban Lidya di masa lalu yang berniat membalaskan dendamnya ke keturunannya." 

"Coba aja, kalau gak gue duluan yang habisin dia," tantang Ria dengan pongah. 

"Semakin lo menggunakan tangan lo sendiri untuk menghabisi lawan lo, semakin lo mengafirmasi bahwa lo keturunan Lidya." 

Fikri memegang tangan Ria yang terus berusaha menggapai Julio. "Gila nih tenaga perempuan." Fikri menggerutu karena ia mulai lelah menahan Ria yang terus memberontak. 

"Lo mau apa sih sebenarnya? Lo bisa mati tau gak?! Gak usah mengkonfrontasi Ria terus-menerus seperti ini," ujar Fikri emosi. Ia muak melihat tingkah Julio yang terus berbicara tanpa inti yang jelas. 

"Lepas aja. Gak ada yang nyuruh lo pegangin Ria." 

"Gak usah sok kuat! Lo gak bisa melawan Ria karena lo masih dibayangin kejadian masa lalu! Seharusnya sadar diri, lo masih kalah dengan diri lo sendiri dan tidak akan mampu melawan orang lain." Perkataan Fikri memukul telak relung hati Julio. Ia termenung meresapi setiap perkataan tersebut. 

"Gue gak peduli status lo apa dan seberapa kuat kekuatan lo sekarang, satu yang pasti, gue tekankan ke lo." Fikri menjeda perkataannya. 

"Kalau sampai lo mengucapkan kalimat terlarang tersebut di hadapan Ria dan membuat dia flip, gue gak akan menahan Ria seperti ini lagi. Gue akan membiarkan dia bertindak sesuai yang diinginkannya." 

"Dan lo tahu? Sudah dua orang yang mati dengan tangan Ria sendiri karena orang tersebut mengatakan kalimat terlarang. Mungkin akan ada orang ketiga jika lo masih terus mengatakannya." Fikri tersenyum miring melihat Julio ketakutan. Julio tidak seberani itu, ia hanya sok berani. 

"Berdamai dengan masa lalu atau lo tidak akan pernah tumbuh. Bukan salah Ria terlahir dari sosok yang lo anggap monster tersebut. Lo salah jika menganggap Ria sama dengan wanita tersebut. Lo harus tinggal dan melihat Ria dari sisi yang lain, bahwa dia benar-benar luar biasa."

########################

Crazy WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang